Pengamat Minta Pemerintah Berhati-hati Terkait Rencana Perluasan Kebijakan Harga Gas Bumi Murah
Ilustrasi tambang gas alam. (foto: dok. pexels)

Bagikan:

JAKARTA - Reforminer Institute menilai rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah oleh pemerintah perlu dilakukan secara hati-hati.

Selain memberikan manfaat ekonomi terhadap industri pengguna gas, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah cukup besar.

"Studi ReforMiner menemukan, sampai saat ini biaya untuk implementasi kebijakan harga gas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang telah diperoleh," ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Sabtu 5 Agustus.

Komaidi menambahkan, pihaknya juga menemukan bahwa kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas.

"Hal itu karena biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor," imbuh Komaidi.

Selain itu, kata dia, level harga atau tinggi-rendahnya harga gas di Indonesia akan terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengusahaan gas bumi.

Dengan demikian, semakin besar PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi dapat semakin murah.

Kemudian tinggi-rendahnya harga gas akan ditentukan oleh keekonomian lapangan. Semakin kecil skala gas yang diproduksikan, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal. Lokasi lapangan juga menentukan besaran biaya produksi gas.

"Produksi gas di wilayah remot atau di laut dalam akan memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore dan pada wilayah yang lebih terjangkau," beber Komaidi.

Selain itu, menurut Komaidi, kondisi pasar dan ketersediaan infrastruktur gas juga akan menentukan tinggi-rendahnya harga gas. Kondisi pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian yang kecil, akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal.

"Keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas juga dapat menyebabkan keekonomian proyek dan harga gas menjadi lebih mahal," beber Komaidi.

Pun, tinggi-rendahnya harga gas akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas.

Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada pengembangan proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela.

Selanjutnya, menurut Komaidi, harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri.

"Harga gas yang rendah dapat menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik. Pengembangan proyek infrastruktur pipa gas CISEM Tahap 1 dan 2 yang pada akhirnya harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui APBN dengan menggunakan skema multi years contract (MYC), mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha," urai Komaidi.

Karena itu, menurut Komaidi, tidak hanya terkait dengan rencana perluasannya, tetapi implementasi kebijakan harga gas murah yang telah dilakukan sejak 2016 kiranya perlu ditinjau ulang.

"Definisi mengenai harga gas bumi murah tidak dapat hanya sekedar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan 6 dolar AS per MMBTU di plant gate karena penetapan harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas," pungkas Komaidi.