Bagikan:

JAKARTA - Majelis hakim yang menangani perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pengalihan saham PT Pada Idi (PTPI) ke PT Mitrada Sinergy (PTMS) diminta bertindak transparan dan objektif. PTPI adalah pemilik konsesi lahan batubara yang berlokasi di Luwe Hulu, Barito Utara, Kalimantan Tengah.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, terdapat sejumlah kejanggalan dalam kasus dengan perkara nomor : 254/Pdt.SusPKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst (PKPU No. 254) tersebut.

“Kasus ini bermula dari penjualan saham sebesar 27,5 persen milik Pemegang Saham Pada Idi kepada Mitrada Sinergy, dengan dasar Nota Kesepakatan Nilai Pengalihan Saham Nomor 001/NKNPS/PTMS-PTPI/I/2011 tanggal 24 Januari 2011,” kata dia di Jakarta, Selasa 2 Mei.

Yusri menjelaskan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, ternyata Mitrada Sinergy belum membayar lunas pembelian saham tersebut kepada pemegang saham Pada Idi.

“Anehnya, Mitrada Sinergy malah membuat gugatan PKPU atas dasar dana pembayaran saham yang dibayar secara bertahap kepada saya diputarbalikkan faktanya menjadi utang pribadi salah satu pemegang (pemilik) saham Padi Idi,” jelas dia.

Dia menambahkan, Mitrada Sinergy kemudian mengajukan gugatan PKPU kepada salah satu pemegang saham Padi Idi yang bernama Bintoro Iduansjah pada 8 Maret 2022 dengan nomor gugatan : 49/PDT.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst (PKPU No 49).

“Ada sejumlah majelis hakim yang menangani perkara tersebut, yakni Duta Baskara (hakim ketua majelis), Mochammad Djoenaidie (hakim anggota), Kadarisman Al Riskandar (hakim anggota), dan Hartanto (panitera pengganti),” ungkap Yusri.

Anehnya, lanjut Yusri, ada pemohon lain dalam gugatan ini, yaitu PT Petro Energy (PTPE) dan PT Solusi Pandu Virtua (PTSPV).

“Namun, putusan dalam perkara PKPU No 49 ini ditolak dengan salah satu alasannya majelis hakim menilai fakta atau keadaan adanya utang termohon PKPU sebagai debitur kepada pemohon PKPU sebagai kreditur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tersebut terbukti tidak sederhana,” terang dia.

Keterangan Yusri, dikarenakan PKPU pertama telah ditolak, maka Mitrada Sinergy untuk kedua kalinya mengajukan kembali PKPU kepada pihak Bintoro Iduansjah pada 27 September 2022 dengan perkara nomor: 254/Pdt.SusPKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst (PKPU No. 254).

Majelis hakim dalam sidang ini adalah Mochammad Djoenaidie (hakim ketua majelis), Duta Baskara (hakim anggota), Kadarisman Al Riskandar (hakim anggota), Betsji Siske Manoe (hakim pengawas), dan Pipih Restiviani (panitera pengganti).

“Terjadi perubahan dalam susunan hakim ketua dan panitera pengganti, serta ada penambahan di hakim pengawas,” kata Yusri Usman.

Gugatan kali ini juga menyertakan pemohon lain, yaitu PT Petro Energy (PTPE), PT Solusi Pandu Virtua (PTSPV), Bank Perkreditan Rakyat Djojo Mandiri Raya dan PT Pada Idi (PTPI).

“Dalam gugatan ini diduga terdapat kejanggalannya, di mana pokok materi sama dengan gugatan PKPU pertama akan tetapi hasil putusannya berbeda, salah satu alasannya telah terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sederhana, oleh karenanya permohonan pemohon PKPU beralaskan hukum dan dapat dikabulkan,” terang Yusri.

Dia berkomentar, sangat janggal karena pihak Bintoro Iduansjah tidak pernah merasa memiliki utang, justru Mitrada Sinergy yang memiliki utang kepada Bintoro Iduansjah karena belum melunasi pembelian saham Pada Idi.

Sekedar informasi, pada awalnya Pada Idi sahamnya dimiliki oleh Bintoro Iduansjah dan The Budi Tedjo Prawiro dengan masing-masing kepemilikan saham sebesar 50 persen. Kemudian pada 24 Januari 2011, Bintoro Iduansjah dan The Budi Tedjo Prawiro menjual sahamnya di Pada Idi masing-masing dengan porsi sebanyak 27,5 persen kepada Mitrada Sinergy.

Hal itu sesuai dengan nota kesepakatan nilai pengalihan saham antara Mitrada Sinergy dan Pada Idi No: 001/NKNPS/PTMS-PTPI/I/2011, yang ditandatangani oleh Bintoro Iduansjah, The Budi Tedjo Prawiro, dengan Mitrada Sinergy yang diwakili oleh Newin Nugroho selaku direktur utama.

“Saya berharap agar kasus ini mendapat perhatian khusus dari aparat penegak hukum lainnya. Kasus ini menjadi menarik karena ada pihak mau beli saham tapi tidak mau bayar, malah pihak yang mau menjual sahamnya dituduh ada utang secara personal. Jangan sampai ini menjadi modus baru dalam pengambilalihan perusahaan milik orang lain dengan cara tidak sah,” tegas Yusri Usman.