JAKARTA - Sejumlah pihak mengkritisi kebijakan-kebijakan PT Pertamina (Persero) menyusul kian pudarnya fokus terhadap bisnis inti serta berisiko salah kelola sejumlah anak usahanya.
Executive Director Sinergi BUMN Institute Achmad Yunus menilai pendirian sejumlah sub holding menjadi bukti Pertamina tidak fokus pada core business, sehingga tidak sejalan dengan mandat pemerintah untuk fokus menjalankan bisnis migas.
Menurut Yunus, hilangnya fokus Pertamina tersebut membuat berbagai permasalahan, seperti kebakaran kilang yang kerap terjadi belakangan ini.
“Pertamina harus evaluasi, sudah sekian kalinya kilang terbakar. Artinya ada proses keselamatan kerjanya yang tidak pas, ini yang disorot oleh masyarakat,” ujarnya kepada wartawan, Selasa 14 Maret.
Pada masa kepemimpinan Nicke Widyawati, setidaknya sudah enam kilang Pertamina terbakar. Terakhir, kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara menjadi insiden yang memilukan, ratusan bangunan di sekitar wilayah itu hangus terbakar, puluhan warga meninggal dunia.
Melalui strategi subholding, Pertamina mulai masuk pada bisnis non-migas. Misalnya logistik migas melalui PT Pertamina International Shipping (PIS) dan bisnis panas bumi lewat anak usaha PT Pertamina Geothermal Energy Tbk yang baru-baru ini melantai di lantai Bursa dengan ticker PGEO.
Yunus juga mendeteksi adanya potensi salah pengelolaan di tubuh Pertamina melalui rencana IPO sejumlah anak usaha. Setelah PGE, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) juga akan segera go public pada tahun ini.
Dia menilai, ke depannya Pertamina terancam kehilangan hak kuasa karena aksi pelepasan saham negara pada sejumlah anak usaha tersebut. Yunus khawatir ini akan menjadi ancaman baru bagi Pertamina masuk pada lobang hitam kebangkrutan di tengah buruknya sistem manajemen perseroan.
Melihat kondisi Pertamina hari ini, Yunus khawatir potensi kebangkrutan akan kembali mengancam perusahaan pelat merah tersebut, seperti era 60-an hingga 70-an.
Saat itu, Pertamina berlenggang kangkung tanpa sepengetahuan pemerintah dan DPR. Kebijakan yang dijalankan juga tak sejalan dengan kerangka pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Beberapa unit usaha yang disebut-sebut menjadi penopang bisnis perseroan, malah menjadi sumber kebocoran. Bahkan ada dugaan terjadi penggelapan dana, di mana sejumlah biaya proyek tak dapat dihitung atau diaudit.
Mengutip Washington Post terbitan 12 OKtober 1977, tertulis Republic National Bank of Dallas membentuk sindikasi dengan Bank of America untuk memberi Pertamina pinjaman 360 hari senilai 40 juta dolar AS pada 1971 dan 1972.
BACA JUGA:
Pada Maret 1975, dalam sebuah pertemuan dramatis di Jakarta antara Dirut Pertamina saat itu Ibnu Sutowo dan 24 bankir asing, perwakilan bank Dallas mengatakan bahwa Pertamina gagal membayar pinjaman 40 juta dolar AS.
Sebelum perusahaan minyak negara Pertamina di Indonesia hampir runtuh pada tahun 1975, bank-bank swasta menggelontorkan miliaran dolar AS ke perusahaan tersebut, sebagian untuk membiayai skema Ibnu Sutowo, untuk anak perusahaan baru yang sedang tumbuh.
Kemudian, ketika Pertamina tampaknya tidak mampu membayarnya pada awal tahun 1975, beberapa bank mendesak pemerintah Indonesia untuk menutupi utang perusahaan minyak tersebut.
“Jadi meskipun Pertamina punya subholding, tapi kan kaki-kakinya sudah mulai diserahkan ke publik. Makanya saya pertanyakan sebenarnya Pertamina ini mau fokus apa sih? Kebijakan di migas ini mereka mau kemana. Jangan sampai cerita seperti dulu terjadi,” kata Yunus.