JAKARTA - Isu mengenai pengembangan dan insentif pemberian kendaraan listrik di Indonesia masih terus dibahas oleh pemerintah dan seluruh stakeholder terkait.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan, terdapat lima ekosistem yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
"Kami lihat ekosistem EV ini persyaratan untuk menciptakan sebuah ekosistem EV agar EV ini bisa berkembang, terakselerasi," kata Eddy dalam peluncuran laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA): "Menelisik Dinamika Industri Otomotif dan Kebijakan Kendaraan Listrik" di AONE Hotel Jakarta, Senin, 6 Februari.
Menurut Eddy, ekosistem pertama adalah infrastruktur pengisian seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Pada tahun 2020, jumlah SPKLU di Indonesia sebanyak 182 unit, dan dua tahun kemudian meningkat menjadi 570 unit yang tersebar di 240 lokasi di seluruh Indonesia.
Sementara target SPKLU pada 2025 adalah 6.318 unit.
Selain itu, pemerintah juga mempunyai target EV sebanyak dua juta unit pada 2025.
"Target kami tahun 2025 sebanyak 6.318 unit dan pada 2022 kami mencapai 570 unit. Kami punya target untuk dua juta kendaraan listrik di 2025, bisa dibayangkan berapa (SKPLU) yang dibutuhkan," ujar Eddy.
Kedua, terkait supply and demand EV. Eddy menyebut, penunjang dari supply and demand tersebut ialah second hand market untuk EV.
"Apa yang menunjang supply demand-nya, (yaitu) second hand market. Hari ini, belum ada pasar sekunder itu. Sementara, di Indonesia yang ikut tumbuh cepat penjualannya adalah kendaraan-kendaraan di second hand market," ungkap Eddy.
"Pada saat COVID-19 kemarin, ketika seluruh produsen otomotif menghentikan produksinya, melihat adanya penurunan, tetapi kami tidak melihat adanya penurunan penjualan di second hand market. Jadi, ini sangat penting," lanjutnya.
Ketiga adalah kesadaran dan penerimaan masyarakat. "Tentu kesadaran dan penerimaan masyarakat. Hari ini, kalau kami lihat masyarakat bicara tentang EV, satu mahal, kedua listriknya mengisinya di mana. Itu yang dipikirkan," ucap Eddy.
Kemudian, ekosistem yang keempat adalah rantai pasokan untuk baterai dan komponen EV.
"Rantai pasokan untuk baterai dan komponen EV ini penting sekali. Jadi, ini salah satu penjelasan mengapa raksasa produsen otomotif Jepang itu sangat sulit atau sekadar masuk ke sektor itu, karena mereka tidak punya akses baterai," jelas Eddy.
BACA JUGA:
Menurut Eddy, hanya negara China yang memiliki akses tersebut, yakni dengan membangun smelter nikel di Indonesia.
"Artinya apa? Tidak punya akses ke nikel, yang punya siapa? China yang punya. Produsen-produsen baterai China punya titik hulunya, sekarang kami lihat di Sulteng, di Morowali, di Sulawesi Tenggara itu, kan, semua produsen-produsennya adalah produsen nikel yang membangun smelter dari China," tuturnya.
Adapun ekosistem kelima, yakni mengenai insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah.
"Mungkin sekarang di benak (masyarakat) harus murah, dong, mulai dari pajaknya, mulai dari pembayaran, bea masuknya dan lain-lain," imbuhnya.