Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui holding BUMN asuransi, Indonesia Financial Group (IFG), menyebut bahwa mekanisme bridge bank dalam penjaminan dan investasi di industri perasuransian nasional mendapat pujian dari komunitas keuangan global.

Komisaris Utama IFG Fauzi Ichsan mengatakan opsi bridge bank dinilai efektif dalam menangani perusahaan asuransi yang bermasalah. Menurut dia, penanganan perusahaan asuransi yang sakit membelah perusahaan tersebut menjadi dua bagian.

“Meminjam istilah dari industri perbankan, bagian pertama adalah bank asal yang gagal, yang dijuluki bad bank dan nantinya akan dilikuidasi,” ujar dia dalam pernyataan pers pada Minggu, 22 Januari.

Kedua, adalah good bank yang dibentuk baru untuk menerima aset yang sehat dan kewajiban dengan status hukum yang paling tinggi dari bank asal.

Disebutkan bahwa berbeda dengan resolusi bridge bank di perbankan, di mana simpanan nasabah bank asal yang gagal tidak direstrukturisasi, polis dan kewajiban dari perusahaan asuransi yang gagal direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum dialihkan ke good bank. Opsi ini diklaim mengurangi beban penyuntikkan modal segar kepada good bank.

Kata dia, melalui pengalihan aset dan kewajiban yang sehat tersebut, opsi-opsi penyehatan lainnya dapat terbuka. Opsi-opsi tersebut termasuk penyertaan modal negara (PMN), mengundang investor strategis, bahkan nantinya penerbitan saham perdana (initial public offering/IPO).

“Melalui opsi resolusi bridge bank, maka biaya penyelamatan bank atau perusahaan asuransi yang gagal menjadi lebih murah, termasuk biaya yang harus diemban negara,” tuturnya.

Selain itu, sambung Fauzi, resolusi terbaru menjamin kontinuitas nilai tambah bagi pemegang polis dan bisnisnya berkelanjutan.

“Pengalaman IFG dalam menerapkan resolusi bridge bank untuk industri asuransi adalah metode resolusi yang baru di dunia keuangan global. Belum pernah ada perusahaan asuransi gagal yang diselamatkan melalui metode bridge bank. Sebuah langkah resolusi yang terbilang kompleks, monumental, dan revolusioner dalam sejarah industri nonbank dunia, bukan hanya di Indonesia,” tegas dia.

Sebagai informasi, skema bridge bank dalam penyelamatan industri asuransi belum pernah terjadi di industri asuransi manapun.

Adapun, instrumen penyelamatan lembaga keuangan yang sudah gagal sebenarnya lengkap tersedia di industri perbankan. Pasca krisis moneter pada era 1997/1998 yang ditandai dengan sejumlah bank yang dinyatakan bangkrut dan terjadi penarikan uang secara massal (rush money), sistem keuangan Indonesia mulai berbenah dengan hadirnya Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

Institusi tersebut dilengkapi dengan sejumlah instrumen resolusi bank gagal, di antaranya mekanisme likuidasi, penyertaan modal sementara (PMS), opsi purchase & assumption, dan opsi pengalihan sementara melalui bridge bank.

Sementara industri asuransi tidak pernah mengalami krisis serupa. Pemegang polis juga tidak bisa berbondong-bondong menarik uangnya karena memang secara kontrak tidak bisa dilakukan.

Hal ini menyebabkan banyak perusahaan asuransi yang secara permodalan minim, tetapi masih bisa diperbolehkan beroperasi. Di sisi lain, industri asuransi juga tidak memiliki institusi serupa LPS yang menjadi garda akhir untuk solusi perusahaan asuransi yang gagal.