Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengaku khawatir akan kebutuhan suplai tenaga kerja yang kian menyusut akibat perubahan aturan mengenai upah minimum pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja.

Hariyadi menyebut, formula penghitungan upah minimum (UM) di dalam Perppu yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu akan memberatkan dunia usaha.

Pasalnya, UU Cipta Kerja hanya mencakup satu variabel, yakni terkait pertumbuhan ekonomi atau inflasi saja.

Formula tersebut bahkan hampir sama dengan penetapan UMP berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, yang mana nilai upah minimum merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan variabel indeks tertentu.

"Sebetulnya, kalau UM mengikuti Permenaker 18/2022, memang akan lebih menyusutkan tenaga kerja. Jadi, antara penciptaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja baru yang masuk dan yang sudah ada itu tidak proporsional lagi," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 3 Januari.

Menurut Hariyadi, idealnya satu lapangan kerja seharusnya tersedia untuk satu pekerja.

Namun, lanjutnya, saat ini sektor formal hanya menyerap 35 juta orang dari total 144 juta angkatan kerja yang ada.

"Dampaknya, (tenaga kerja) akan makin menyusut kalau ini diteruskan. Tren itu akan berlanjut terus," ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, Hariyadi menyebut selama delapan tahun belakangan atau periode 2013-2021, penyerapan tenaga kerja turun hingga 70 persen, meski realisasi investasi naik.

Dalam data tersebut, tercatat bahwa pada 2013 ada penciptaan tenaga kerja hingga 1,8 juta orang dengan total investasi sebesar Rp398,3 triliun. Namun, penyerapan tenaga kerja turun drastis ke angka 1,2 juta orang pada 2021 dengan total realisasi investasi sebesar Rp901 triliun.

Dari data tersebut, diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja per Rp1 triliun investasi menyusut hingga 70 persen dari 4.500 orang pada 2013 menjadi 1.300 orang saja pada 2021.

"Kami sebagai pemberi kerja dan sebagai investor, itu tidak bagus untuk kami, karena kalau itu terjadi, bonus demografi tidak akan terjadi. Yang ada malah beban dan sudah terjadi," ungkap dia.

Adapun beban yang dimaksud, yakni semakin banyaknya rakyat yang harus disubsidi pemerintah.

Terkait subsidi tersebut, data pemerintah mencatat pada 2019 terdapat 36,3 persen dari populasi yang menerima bantuan sosial (bansos). Angka tersebut naik menjadi 58,8 persen pada 2022.

Pada kesempatan sama, Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J. Supit mengatakan, pihaknya mendukung penuh pemerintah untuk mendorong penciptaan tenaga kerja berkualitas di Indonesia.

Anton menyebut Apindo sama sekali tidak menentang kenaikan upah minimum.

Perubahan aturan mengenai upah minimum, kata Anton, akan sangat signifikan dampaknya bagi para calon investor yang akan berinvestasi di Indonesia, khususnya investor di sektor padat karya.

"Paling penting bagi calon investor yang akan masuk, dia akan memprediksi bagaimana pengupahan lima tahun ke depan. Katakanlah kalau setiap tahun naik 10 persen, berarti dalam lima tahun akan naik 50 persen," ucapnya.

Anton berujar, upah minimum merupakan jaring pengaman sosial yang berlaku hanya untuk pekerja yang baru mulai kerja atau belum pernah bekerja.

"Kami berjuang bukan untuk kami saja atau pengusaha, tetapi juga untuk pemerintah supaya mencapai syarat pembangunan manusia. Tugas kami menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin dan kalau tidak bisa, jangan sampai itu hilang," pungkasnya.