Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja, pada Jumat, 30 Desember.

Menanggapi Perppu Cipta Kerja ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti dua isu di klaster ketenagakerjaan yang berubah di dalamnya.

Adapun dua isu yang berubah dari aturan di UU Cipta Kerja, yakni soal pengupahan dan alih daya.

"Nah, di dalam pengupahan itu ada perubahan yang tadinya untuk perhitungan upah minimum itu didasarkan pada inflasi atau pertumbuhan ekonomi, diambil salah satu yang tertinggi, maka di dalam Perppu ini diambil tiga parameter, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 3 Januari.

Hariyadi mengatakan, nantinya penentuan upah minimum berdasarkan tiga parameter tersebut dikhawatirkan tidak jari pengaman sosial sebagaimana mestinya.

"Kalau ini tidak mencerminkan jari pengaman sosial dan nantinya kenaikannya cenderung seperti dulu di PP Nomor 78 Tahun 2015, yang kami khawatirkan itu adalah makin jauhnya antara supply dan demand," ujar dia.

Ia pun meyebut kenaikan kenaikan upah minimum dengan formulasi baru di Perppu akan memberikan celah besar antara supply dan permintaan tenaga kerja.

"Jadi, supply tenaga kerjanya itu melajunya sangat tinggi, karena rata-rata sekarang ini sekitar tiga juta per tahun ada angkatan kerja baru, sedangkan penyerapan tenaga kerjanya atau penyediaan lapangan kerjanya itu semakin menyusut," jelas Hariyadi.

Menurut dia, jika tren tersebut tidak diubah, angkatan kerja baru pun akan kesulitan mendapatkan lapangan kerja baru, begitu pula dengan para pekerja yang berada di sektor informal juga akan semakin sulit masuk ke sektor formal.

Sementara, terkait isu alih daya, Apindo menyoroti soal pembatasan yang justru kontraproduktif dengan kondisi dan upaya Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi.

"Kalau alih daya, menurut pandangan kami juga tidak tepat di dalam Perppu ini, karena tadi saya sampaikan bahwa Indonesia itu membutuhkan lapangan kerja yang sangat besar. Nah, kalau seluruh upaya atau koridor-koridor ini dipersempit, maka kami tidak punya alternatif yang banyak untuk penyediaan lapangan kerja itu," paparnya.

Haryadi menambahkan, pihaknya merasa terkejut dengan penertiban Perppu lantaran para pengusaha sebagai investor dan pemberi kerja justru tidak dilibatkan di dalamnya.

Bagi Haryadi, pelaku usaha sebagai salah satu pemangku kepentingan seharusnya bisa ikut dilibatkan, meski dunia usaha memahami hal tersebut dilakukan untuk menjamin kepastian berusaha.

"Memang sebaiknya semua pembahasan melibatkan stakeholders, terutama yang terkait langsung. Ini, kan, lucu, kami yang kasih kerjaan, kami yang ngasih gaji, tetapi tidak diajak ngomong. Lucu juga tiba-tiba main putus saja," pungkasnya.