JAKARTA – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan bahwa rencana pemberlakuan pajak karbon sesungguhnya memiliki esensi yang sangat besar bagi perekonomian di Indonesia.
Menurut dia, pajak karbon merupakan dasar utama bagi arah pembangunan nasional di masa mendatang. Oleh karena itu, Suahasil menyampaikan jika instrumen fiskal tersebut tidak melulu soal upaya pemerintah dalam menghimpun penerimaan negara.
“Pajak karbon bukanlah alat untuk mencari penerimaan negara,” ujarnya saat berbicara di forum Indonesia Economic Outlook 2023 yang diselenggarakan oleh PT SMI pada Selasa, 20 Desember.
Wakil Sri Mulyani itu menyampaikan pula bahwa pajak karbon adalah bukti keseriusan RI dalam memenuhi komitmen Net Zero Emission.
“Ini adalah langkah untuk mewujudkan pengurangan emisi karbon di setiap sektor (usaha/bisnis),” tutur dia.
Suahasil menjelaskan, aturan baru akan mendorong pelaku usaha untuk berpartisipasi aktif dalam skema carbon market. Jika dinilai cukup berat, para pengusaha juga bisa mengambil cara lain dengan memberi kompensasi kepada negara melalui pembayaran pajak karbon.
“Pajak karbon ada di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bersama dengan item-item lain. Ini adalah bagian dari reformasi struktural yang terus kita lakukan,” tegas Suahasil.
BACA JUGA:
Dalam catatan VOI, aturan soal pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam implementasi awal, kebijakan ini seharusnya mulai berlaku pada 1 Juli 2022.
Malahan, pemerintah sempat berencana menjadikan pajak karbon sebagai showcase dan pencapaian penting RI dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 November lalu.
Akan tetapi, dengan mempertimbangkan kondisi domestik dan perekonomian dunia, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon hingga 2025 mendatang.