Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani secara terang-terangan menjelaskan kepada Komisi XI DPR soal upaya pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal di dalam negeri. Pada kesempatan tersebut, bendahara negara mengatakan jika pihaknya telah mengidentifikasi sejumlah cara yang dipakai oleh para pelaku guna memuluskan aksi haramnya itu.

“Jumlah pelanggaran rokok ilegal yang tidak menggunakan cukai makin sedikit, tetapi sekarang mereka menggunakan pita cukai tetapi palsu. Ini artinya mereka tidak membeli (membayar) cukai,” ujar dia di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Senin, 12 Desember.

Menurut Menkeu, jajaran Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menemukan pula adanya modus baru berupa penggunaan pita cukai bekas.

“Modus ini juga sekarang ada (menggunakan pita cukai bekas),” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa cara lain yang digunakan oleh para pelaku adalah membeli pita cukai asli dengan tarif lebih murah namun menyematkan pada produk yang berkategori mahal.

“Disini mereka salah secara peruntukannya atau salah personifikasinya. Ini memang yang paling susah dideteksi karena kalau dilihat secara sekilas ada pita cukai, namun sebenarnya itu bukan peruntukannya,” tegas dia.

Dalam kesempatan tersebut Menkeu mengklaim jika selama lima tahun terakhir jumlah rokok ilegal cenderung mengalami penurunan di tengah kenaikan tarif cukai. Padahal, peredaran rokok ilegal biasanya semakin banyak seiring dengan harga jual rokok resmi yang melambung karena masyarakat mencari alternatif produk lain.

“Menurunnya tingkat rokok ilegal terjadi karena Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara intensif melakukan upaya penindakan,” katanya.

Data Kementerian Keuangan menyebut bahwa potensi kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari peredaran rokok ilegal mencapai Rp548,3 miliar di sepanjang 2022. Nilai tersebut lebih tinggi dari 2021 yang sebesar Rp452,7 miliar maupun 2020 dengan Rp370,6 miliar.

Adapun, jumlah penindakan kasus pada 2022 sebanyak 19.399 kasus, 2021 sebanyak 13.125 kasus, 2020 sebanyak 9.018 kasus, dan 2019 sebanyak 6.377 kasus.