Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai Indonesia perlu melihat peluang ekspor ke India. Terutama saat China, yang merupakan mitra dagang utama, tengah mengalami perlambatan ekonomi.

Menurut Hasran, baik China maupun India merupakan tujuan ekspor utama Indonesia untuk komoditas bahan bakar mineral, seperti batu bara, minyak nabati seperti CPO dan turunannya, serta produk besi dan baja.

"Berdasarkan pengalaman, komoditas-komoditas tersebut, apabila ekspor ke China melambat, maka pangsa pasar bisa dialihkan ke India, dan begitu juga sebaliknya," katanya dalam keterangan dikutip Antara, Senin 12 Desember.

Hasran menilai ada perbedaan tren ekspor nonmigas Indonesia ke kedua negara. Ekspor nonmigas Indonesia ke China selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sedangkan, ekspor ke India mengalami penurunan tiap tahunnya kecuali pada 2021.

Namun, menurut dia, ada beberapa hal yang berpotensi membuat ekspor Indonesia ke India meningkat. Pertama, laju pertumbuhan penduduk India yang cepat kemungkinan besar akan meningkatkan industrialisasi sebagai sektor penyerap tenaga kerja selain jasa.

"Apabila industrialisasi tumbuh secara masif di India, maka akan terjadi peningkatan pada permintaan batu bara sebagai sumber energi. Di sisi lain, China akan beralih ke energi terbarukan sehingga ekspor batu bara akan berkurang ke China," katanya.

Kedua, seiring dengan pertumbuhan pada sektor industri, keterlibatan dalam rantai nilai global atau global value chain (GVC) juga akan semakin besar.

"Ini akan menambah peluang Indonesia meningkatkan ekspor ke India untuk bahan baku industri, seperti besi, baja, biji aluminium dan juga nikel," imbuhnya.

Selain itu, meningkatnya konsumsi dalam negeri mereka akan mendorong adanya peningkatan jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman.

Dalam hal ini, Indonesia dapat meningkatkan ekspor CPO atau crude palm oil sebagai bahan baku utama industri makanan minuman India.

Hasran menyebut saat ini perekonomian India ditopang kuat oleh sektor jasa, terutama teknologi digital. Tumbuhnya perekonomian mengharuskan keterlibatan yang lebih tinggi dalam GVC, terutama pada sektor manufaktur berteknologi tinggi.

Namun, ada beberapa komoditas ekspor Indonesia yang hanya unggul di India, seperti alkohol, fenol, fenol-alkohol, dan karet alam serta pupuk.

Sedangkan produk ekspor Indonesia yang hanya unggul di China termasuk di dalamnya briket, lignit dan gambut dan biji aluminium, semen, gas alam, dan produk kertas.

Walaupun begitu, Hasran menyebut China masih akan menjadi mitra dagang utama Indonesia, walaupun mereka sedang mengalami perlambatan ekonomi.

"Perlambatan ekonomi China hanya akan berlangsung dalam jangka pendek. Setelah Pemerintah China melonggarkan kebijakan COVID-19, maka perekonomiannya akan kembali pulih," ujarnya.

Hasran juga menilai perdagangan Indonesia dan China akan semakin intens dengan adanya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Blok perdagangan ini memungkinkan negara anggotanya, termasuk Indonesia dan China, untuk melakukan perdagangan barang, jasa, dan investasi dengan tarif yang rendah dan prosedur perdagangan yang sederhana.

"Diversifikasi merupakan langkah yang baik untuk meminimalkan dampak kondisi ekonomi negara lain terhadap Indonesia," kata Hasran.