Bagikan:

JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa sejumlah asumsi makro inflasi menunjukan realisasi yang lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Menurut dia, bukuan inflasi berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 5,71 persen year on year (yoy) di Oktober masih di bawah asumsi bank sentral yang memperkirakan bakal mencapai 6,1 persen.

“Sebelumnya BI memperkirakan inflasi IHK (di Oktober) sebesar 6,1 persen akibat adanya kenaikan harga BBM. Akan tetapi realisasinya lebih rendah dari itu,” ujar dia pada Kamis, 3 November.

Kondisi ini tentu saja membawa angin segar pada ekspektasi inflasi IHK di penghujung 2022 yang diyakini juga akan ikut menurun dari bacaan awal.

“Di akhir tahun, inflasi semula kami perkirakan 6,6 persen. Dengan realisasi ini maka bisa lebih rendah dari 6,3 persen,” tuturnya.

Sementara di sisi inflasi inti, yang menjadi patokan Bank Indonesia dalam menetapkan suku bunga acuan, tercatat mengalami peningkatan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menginformasikan bahwa inflasi inti melaju dari sebelumnya 3,21 persen yoy di September menjadi 3,31 persen pada Oktober. Walau begitu, angka ini lagi-lagi masih berada di kisaran bawah bank sentral.

“Inflasi inti Oktober kemarin hanya 3,3 persen. Semula kita perkirakan bisa 3,7 persen,” katanya.

Dia pun menilai jika inflasi inti juga berpeluang mencapai level lebih landai di penutupan 2022.

“Di akhir tahun inflasi inti diperkirakan 4,3 persen tapi dengan realisasi sekarang bisa lebih rendah dari itu,” tegas dia.

VOI mencatat, Bank Indonesia telah menaikan suku bunga acuan 125 basis points (bps) dalam tiga bulan berturut-turut menjadi 4,25 persen.

Langkah ini disebut otoritas moneter berperan dalam menurunkan ekspektasi inflasi yang sekarang terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3 persen plus minus 1 persen lebih awal, yaitu ke paruh pertama 2023.