Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia perlu melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya pelemahan kinerja perekonomian dunia akibat inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga.

Hal itu tercermin dari kinerja Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur secara global mengalami penurunan dari level 51,1 ke level 50,3.

Dalam catatan dia, dari anggota G20 dan ASEAN-6, hanya sejumlah 24 persen negara yang aktivitas PMI-nya mengalami akselerasi dan ekspansi, termasuk Indonesia, Thailand, Filipina, Rusia, Vietnam, dan Arab Saudi.

“Namun, 32 persen yaitu negara-negara seperti Amerika, Jepang, India, Malaysia, Brazil Australia, Singapura, dan Afrika Selatan PMI-nya mengalami perlambatan atau kondisinya turun. Bahkan Jerman, Italia, Inggris, Korsel, Kanada, Meksiko, Spanyol, dan Turki, sekarang PMI mereka sudah masuk kepada level kontraksi,” ujarnya dalam keterangan pers dikutip Selasa, 27 September.

Tidak hanya dari sektor manufaktur, secara global perekonomian dunia masih cukup tertekan dengan perkiraan terjadi koreksi ke bawah.

“Indonesia sendiri sampai dengan semester I 2022 gross domestic product (GDP) kita sudah 7,1 persen di atas level sebelum terjadinya pandemi. Ini berarti kita sudah recover dari sisi level ekonominya,” tutur dia.

Situasi kontras terjadi pada banyak negara, seperti Meksiko, Thailand, dan Jepang yang level GDP-nya masih di bawah capaian pandemi level.

“Artinya mereka sama sekali belum pulih,” tegas Menkeu.

Lebih lanjut, bendahara negara mengungkapkan pula bahwa pemerintah akan tetap menyiagakan instrumen fiskal sebagai shock absorber dalam menjaga perekonomian nasional.

“Kondisi inilah yang terus akan kita monitor dan tentu kita kelola untuk tidak berimbas terlalu besar pada perekonomian dalam negeri. APBN akan tetap bekerja keras untuk melindungi masyarakat dari guncangan guncangan yang terjadi akibat gejolak yang terjadi di pasar keuangan global, pasar komoditi, maupun geopolitik,” tutup Menkeu Sri Mulyani.