JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa pemberian subsidi energi, seperti solar dan gas elpiji tidak cukup efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang ada di masyarakat.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu ketika hadir dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR.
Dalam penjelasannya, subsidi solar bersifat regresif dengan distribusi manfaat hanya sekitar 26 persen. Pun demikian untuk gas elpiji yang juga bersifat regresif dengan manfaat 19 persen.
“Kalau kita lihat dari berbagai program, subsidi energi untuk solar dan elpiji tidak mendukung upaya kita untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan,” ujarnya dalam pembahasan RUU APBN 2023 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin, 12 September.
Oleh karena itu, Febrio menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus bisa bersama-sama merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran bagi masyarakat.
“Subsidi ini perlu dievaluasi terus agar pengalihan nilai yang diberikan kepada masyarakat yang berhak, khususnya bagi masyarakat di desil 1,2,3 dan 4,” tutur dia.
BACA JUGA:
Febrio menambahkan, setidaknya terdapat berapa tantangan utama yang perlu dicarikan solusi. Pertama, tingginya harga komoditas menyebabkan nilai subsidi menjadi besar. Kedua, solar dan elpiji masih didistribusikan secara terbuka.
Tiga, validasi data penerima subsidi belum lengkap, dan keempat kebutuhan anggaran dinilai akan meningkat seiring dengan upaya mendukung energi baru dan terbarukan (EBT).
“Untuk itu pemerintah mendorong reformasi subsidi tepat sasaran agar diberikan secara langsung kepada penerima manfaat dengan menggunakan aplikasi data digital,” tegasnya.
Sebagai informasi, dalam RUU APBN 2023 pemerintah menyodorkan anggaran subsidi dan kompensasi tahun depan sebesar Rp336 triliun.
Adapun, dalam Undang-Undang APBN 2022 nilai subsidi dan kompensasi dirancang sekitar Rp152 triliun. Angka ini kemudian dinaikan menjadi Rp502 triliun seiring dengan kenaikan harga komoditas energi dunia.