Bagikan:

JAKARTA – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan bahwa kesadaran masyarakat untuk menjalankan hak serta kewajiban perpajakan sangat penting dalam kehidupan bernegara.

Pasalnya, pajak merupakan instrumen utama penerimaan untuk menghimpun pendapatan APBN.

Oleh karenanya, anak buah Sri Mulyani itu mengungkapkan butuh kesadaran yang tinggi dari para wajib pajak (WP) untuk bisa bergotong royong agar target penerimaan yang telah ditetapkan bisa tercapai dengan baik.

“Pencapaian target penerimaan pajak yang optimal harus disertai dengan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Selama kepatuhan belum tinggi, jangan pernah berharap ada penerimaan pajak yang optimal,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual pada akhir pekan lalu, 31 Juli.

Menurut Yustinus, terdapat dua tantangan besar dalam sektor perpajakan di Indonesia.

Pertama, membangun kesadaran penuh di masyarakat agar memahami bahwa pelaksanaan hak maupun kewajiban perpajakan mempunyai peran strategis.

Sebab, setiap warga negara memiliki hak untuk berkontribusi membangun negara lewat perpajakan.

Demikian juga dengan kewajiban yang melekat pada WP yang diharapkan turut berperan lewat sumbangsih pajak.

"Kedua adalah bagaimana membangun otoritas yang kredibel supaya orang-orang secara konkrit mau membayar pajak,” tuturnya.

Dalam catatan VOI, penerimaan pajak hingga penutupan semester I 2022 menunjukkan kinerja moncer dengan bukuan Rp868,3 triliun atau melesat 55,7 persen dibandingkan dengan semester I 2021 yang sebesar Rp557,8 triliun.

Angka ini sekaligus sudah berporsi 58,1 persen dari target Perpres 98/2022 yang membidik jumlah Rp1.485 triliun.

Untuk diketahui, torehan apik di paruh pertama tidak lepas dari kontribusi signifikan sektor komoditas yang mengalami peningkatan harga dalam sepanjang tahun ini. Selain itu, pulihnya dunia usaha di masa pandemi turut pula menyokong penerimaan negara.

Adapun, kepatuhan pajak di Indonesia dinilai masih rendah yang tercermin dari tax ratio 2021 sebesar 9,1 persen. Level tersebut masih jauh di bawah rata-rata negara anggota OECD yang sekitar 34 persen.

"Tantangan kita saya pikir adalah mengedukasi masyarakat. Ini memang tidak mudah jika kita bicara pajak, sehingga perlu didorong bagaimana manfaat pajak itu untuk pembangunan dan bagi kita semua. Nah, ini biasanya yang membuat masyarakat tertarik bahwa uang yang dibayar ternyata banyak hasilnya," tutup Yustinus.