Dongkrak Penerapan EBT, Indonesia Perlu Dorong Jepang Beralih Jadi Produsen Kendaraan Listrik
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dua kunci untuk penerapan energi baru terbarukan (EBT) adalah kelistrikan dan otomotif.

Selama Jepang masih bertahan dengan produksi mobil berbahan bakar fosil, maka sulit bagi Indonesia untuk penerapan EBT.

Saat ini, lanjut Komaidi, Jepang belum masuk ke market mobil listrik. Justru China dan Korea yang lebih dulu melirik potensi EBT.

Namun, yang menjadi masalah adalah dominasi Jepang di pasar Indonesia cukup besar.

"Kalau Jepang mungkin lebih baik dalam konteks automotif bagaimana kemudian ke depan Jepang akan moving kemana terkait industri otomotifnya, karena sejauh ini mereka belum entry ke market mobil listrik. Justru China dan Korea. Sementara dominasi mereka di Indonesia cukup besar. Sepanjang mereka masih bertahan di konvensional relatif berat bagi Indonesia," katanya dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu, 27 Juli.

Karena itu, menurut Komaidi, Indonesia harus mendorong Jepang untuk beralih menjadi produsen mobil listrik untuk dongkrak penerapan EBT.

Lebih lanjut, Komaidi mengingatkan, selain menjaring investor asing, pemerintah juga perlu memperhatikan keberlangsungan industri otomotif secara keseluruhan.

"Kemudian nasib yang mobil sudah eksis, termasuk infrastruktur penunjang, seperti pabriknya, bengkel, dan karyawan bagaimana, ini pekerjaan rumah yang saya kira tidak sederhana, sekadar mengampanyekan pindah ke EBT, ada aspek-aspek lain yang sejauh ini belum disentuh," jelas Komaidi.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bertemu dengan sejumlah petinggi perusahaan otomotif di Jepang serta mengantongi sejumlah komitmen investasi triliunan rupiah untuk produk kendaraan yang ramah lingkungan.

"Saya meyakini bahwa permintaan kendaraan listrik baik roda empat maupun roda dua di Indonesia maupun di kawasan ASEAN ke depan akan terus meningkat. Indonesia dapat dijadikan industrial base produksi Electric Vehicle (EV) untuk dipasarkan di kawasan ASEAN maupun di Indonesia sendiri," kata Airlangga.

Seperti diketahui, dunia mulai beralih dari memproduksi kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik.

Ini sejalan dengan kebijakan transisi energi Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 serta Nationally Determined Contributions (NDCs) pengurangan emisi karbon 29 persen pada tahun 2030.

Transportasi Publik

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengapresiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang telah menyediakan sejumlah bus TransJakarta berbahan bakar listrik.

Menurut dia, inisiasi ini bisa didorong penggunaannya untuk daerah lain di indonesia.

"Untuk peta Jakarta tidak begitu pesimis, SDM bagus, perencanaan bagus dan yang mengawasi banyak. Di Daerah itu tidak banyak peduli, padahal bisa sekali ditiru, pusat harus dorong ke daerah," ujarnya.

Saat ini ada 11 layanan Bus Rapid Transport (BRT) tersedia di seluruh Indonesia.

Di Surabaya akan ada dua koridor yang menggunakan bus listrik, begitu juga Bandung.

"Jadi, pemerintah daerah bisa mulai menggunakan bus listrik lewat BRT ini," ujarnya.

Menurut Djoko, keberadaan transportasi publik yang layak sangat penting dalam perpindahan masyarakat.

Pengguna kendaraan pribadi bisa beralih ke transportasi publik untuk mengurangi emisi.

Pemerintah juga harus lebih aktif menyosialisasikan informasi dan layanan mobil listrik.

"Bagaimana pemanfaatannya, artinya penggunaan nanti mitigasinya, terhadap kecelakaan, informasi penggunaan bateri mudah atau tidak, studi penyediaan stasiun pengisian, kalau rumah tangga berapa jam, itu perlu disosialisasikan, jangan seperti dulu kita pakai gas, ternyata gagal karena SPBG nya jauh," ungkap Djoko.

Dia mengingatkan, keberadaan transportasi listrik bukan hal baru di Indonesia.

Di dataran tinggi Asmat, masyarakatnya sudah menggunakan mobil listrik.

"Artinya kesempatan dan kemauan itu ada, tinggal implementasinya di lapangan," ucapnya.