JAKARTA - PT Pertamina (Persero) tetap menjaga pasokan minyak mentah, BBM dan LPG berada di level aman.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menjelaskan, kenaikan harga minyak yang sangat tinggi mengakibatkan beberapa negara mengalami krisis energi.
Pertamina membuat perencanaan yang akurat dengan menyeimbangkan antara aspek ketahanan energi nasional dan kondisi korporasi.
Selain itu, Pertamina bukan hanya menjaga pasokan secara nasional, tetapi juga per wilayah hingga SPBU karena stok yang diperlukan untuk masing-masing wilayah berbeda untuk jenis produknya.
"Kita tidak menyamaratakan jumlah untuk seluruh daerah, tetapi disesuaikan, karena ada daerah yang solarnya tinggi, ada yang Pertalitenya tinggi, ada juga Pertamax-nya. Ini kita coba lihat satu per satu dengan digitalisasi SPBU,” ungkap Nicke kepada wartawan, Jumat 8 Juli.
Dengan peningkatan harga minyak dan gas, kata Nicke, tantangan berat di sektor hilir adalah harga keekonomian produk meningkat tajam.
Bila dibandingkan dengan harga keekonomian, harga jual BBM dan LPG yang ditetapkan Pemerintah sangat rendah.
Per Juli 2022, untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30), dijual dengan harga Rp5.150 per liter, padahal harga keekonomiannya mencapai Rp18.150.
Jadi untuk setiap liter Solar, Pemerintah membayar subsidi Rp13.000.
Untuk Pertalite, lanjut Nicke, harga jual masih tetap Rp7.650 per liter, sedangkan harga pasar saat ini adalah Rp17.200.
Sehingga untuk setiap liter Pertalite yang dibayar oleh masyarakat, Pemerintah mensubsidi Rp9.550 per liternya.
BACA JUGA:
Demikian juga untuk LPG PSO, di mana sejak 2007 belum ada kenaikan. Harganya masih Rp4.250 per kilogram, di mana harga pasar Rp15.698 per kg.
"Jadi subsidi dari pemerintah adalah 11.448 per kilo. Untuk Pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp12.500. Padahal untuk RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar 17.000. Karena secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp17.950," ujarnya
“Kita masih menahan dengan harga Rp12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara,” pungkas Nicke.