Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, penguatan harga minyak mentah akibat menurunnya suplai global, terutama dari Libya dan Ekuador, serta terbatasnya kemampuan produksi OPEC+ berdampak terhadap harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji di Indonesia.

"Kalau kita melihat harga keekonomian dengan peningkatan harga minyak dan gas ini juga meningkat tajam," kata Dirut Pertamina Nicke Widyawati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu 6 Juli.

Nicke merinci, berdasarkan formulasi perhitungan yang dilakukan oleh Pertamina pada Juli 2022, harga keekonomian Solar adalah Rp18.150 per liter, sedangkan harga jual masih Rp5.150 per liter.

Kondisi ini membuat pemerintah harus membayar subsidi Solar Rp13.000 per liter.

Sementara itu, harga keekonomian BBM bersubsidi Pertalite berada pada angka Rp17.200 per liter. Pertamina menjual Pertalite Rp7.650 per liter, sehingga setiap liter Pertalite yang dibeli oleh masyarakat mendapatkan subsidi Rp9.550 per liter dari pemerintah.

Sementara itu untuk elpiji bersubsidi, Nicke mengatakan pihaknya belum menaikkan harga elpiji nonsubsidi sejak tahun 2007, sehingga harganya masih Rp4.250 per kilogram. Saat ini harga pasar elpiji adalah Rp15.698 per kilogram, maka subsidi dari pemerintah adalah Rp11.448 per kilogram.

Harga keekonomian produk BBM nosubsidi jenis Pertamax adalah senilai Rp17.950 per liter. Pertamina masih mematok harga Pertamax Rp12.500 per liter, sedangkan perusahaan kompetitor sudah menetapkan harga produk sekitar Rp17.000 per liter.

"Kami masih menahan harga Pertamax Rp12.500 per liter karena kami juga pahami kalau Pertamax naik setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi. Kondisi ini tentu akan menambah beban negara," kata Nicke.

Nicke mengaku, pihaknya akan terus memantau kondisi harga pasar dan mengoordinasi dengan pemerintah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai.

Nicke menerangkan, perhitungan harga keekonomian BBM dan elpiji tersebut sudah sesuai dengan formulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM.

Menurutnya, formula perhitungan ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan kompetitor lain dalam menetapkan harga BBM maupun elpiji mereka.