Bagikan:

JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Jember Ciplis Gema Qori'ah mengharapkan Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga rendah agar tidak memunculkan risiko instabilitas apabila perekonomian domestik masih belum benar-benar pulih.

"Perekonomian global saat ini menunjukkan gejala yang kian tidak stabil dan fenomena tersebut ditandai dengan lonjakan kenaikan harga secara umum (inflasi)," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip dari Antara, Kamis 30 Juni.

Menurut dia, kondisi global itu memantik Bank Sentral di berbagai belahan dunia untuk menerapkan kebijakan pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga, termasuk India, Filipina, India dan Korea Selatan.

Di Amerika Serikat, lanjut dia, Bank Sentral AS (The Fed) telah menaikkan suku bunga pertama kali sejak tahun 2018, pada Maret 2022 dan rencananya secara bertahap suku bunga akan naik untuk menjaga perekonomian dari lonjakan inflasi.

Namun, suku bunga di Indonesia sejak Februari 2021 hingga Mei 2022 tidak mengalami perubahan yaitu berada pada kisaran 3,50 persen dan kebijakan moneter di Indonesia tampak bersifat netral seperti yang diterapkan oleh Jepang, Jerman, China dan Thailand.

"Dampak atas kebijakan itu tentunya akan menuai berbagai macam kritik karena kenaikan suku bunga The Fed dapat berisiko menimbulkan capital outflow serta mengancam stabilitas nilai tukar rupiah," tuturnya.

Meski demikian, ia menilai risiko tersebut dapat diantisipasi dengan angka pertumbuhan ekonomi yang jauh dari kondisi resesi (pro growth), inflasi domestik terkendali serta ketahanan sektor eksternal di Indonesia tetap terjaga dengan baik.

Secara teoritis, lanjut dia, kebijakan moneter dapat berdampak pada aktivitas perekonomian melalui berbagai macam saluran transmisi yang berfokus pada sisi permintaan lebih banyak mendapatkan perhatian dan khalayak melupakan eksistensi saluran transmisi sisi penawaran.

Saluran transmisi sisi penawaran ini dikenal sebagai cost-side channel dengan suku bunga mempengaruhi biaya marjinal produksi perusahaan dan perilaku penentuan harga, sehingga pengetatan suku bunga justru dapat membuat tingkat harga mengalami kenaikan karena mendorong perusahaan untuk melakukan mark-up harga.

"Ketika saluran transmisi kebijakan moneter sisi penawaran itu lebih dominan dibandingkan sisi permintaan, maka kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga justru dapat menjadi bumerang," katanya.

Ciplis menjelaskan inflasi yang terjadi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh tekanan dari sisi rantai pasokan akibat harga bahan baku hampir di semua jenis barang mengalami hambatan, sehingga biaya produksi mengalami peningkatan dan mendorong perusahaan untuk menaikkan harga barang produksi.

Selain itu, suku bunga kredit perbankan juga masih sulit turun, sehingga cost of fund masih relatif tinggi di Indonesia.

"Dengan demikian, Bank Indonesia sangat berhati-hati dalam menaikkan suku bunga karena dapat memunculkan risiko instabilitas apabila perekonomian domestik masih belum benar-benar pulih," ujarnya.