Bagikan:

JAKARTA – Kondisi pandemi COVID-19 memberi tekanan tersendiri bagi sektor perekonomian karena terjadi penurunan aktivitas produktif. Situasi ini kemudian diperberat dengan krisis di Eropa Timur antara Rusia dan Ukraina yang terlibat perang.

Meski demikian, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro menilai, peningkatan harga komoditas sebagai ekses keadaan global membawa pengaruh positif bagi Indonesia. Padahal, negara berkembang RI sangat mungkin mengalami tekanan lebih dalam dibandingkan dengan negara kuat lain.

Situasi berbalik tatkala Indonesia mampu menghasilkan sejumlah komoditas penting dunia yang kini sedang diperebutkan banyak negara.

“Kondisi Indonesia relatif lebih baik dari emerging market lain yang tidak bisa memproduksi komoditas atau bukan penghasil natural resources,” ujarnya kepada awak media secara daring dikutip Kamis, 23 Juni.

Menurut Andry, hal itu tercermin dari sektor penerimaan negara yang menunjukan kinerja moncer dengan pertumbuhan signifikan dari hasil penjualan komoditas ke pasar mancanegara. Malahan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah melapor kepada DPR jika pendapatan negara bakal lebih besar Rp420 triliun dari target awal yang ditetapkan Undang-Undang APBN 2022.

“Kalau kita lihat elastisitas dari kenaikan harga ini justru berpengaruh positif terhadap PDB (produk domestik bruto). Indonesia masih diberkahi bahwa dampak perang ini menimbulkan potensi upside bagi pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Sebagai gambaran, Indonesia merupakan negara dengan bukuan ekspor batu bara terbesar di dunia. Saat ini, komoditas emas hitam itu diperdagangkan hampir 400 dolar AS per ton dari sebelumnya hanya di kisaran 60-70 dolar per ton ketika pra pandemi.

Begitu juga dengan minyak sawit alias crude palm oil (CPO) dimana RI adalah produsen terbesar dunia. Dalam catatan redaksi, harga CPO pada penghujung 2019 hanya sebesar 2.000-an ringgit Malaysia per ton. Namun, bahan baku minyak goreng itu kini diperdagangkan senilai 4.900 ringgit Malaysia per ton.