Bagikan:

JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 yang mencapai 5,01 persen year on year bisa menjadi modal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen year on year sepanjang 2022.

"Saya rasa dengan pertumbuhan 5 persen ini bisa menjadi modal untuk mengejar target pertumbuhan rata-rata 5 persen atau syukur-syukur 5,2 persen year on year pada 2022," kata Eko dikutip dari Antara, Senin 9 Mei.

Ia mengatakan pertumbuhan ini didukung oleh industri pengolahan yang pada kuartal I 2022 telah tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau mencapai 5,07 persen year on year.

"Saya rasa industri pengolahan akan menjadi sektor penggerak utama dalam perekonomian 2022," katanya.

Sementara itu, sektor jasa pendidikan diperkirakan juga akan bertumbuh mulai kuartal II 2022 seiring dengan penyelenggaraan sekolah tatap muka yang semakin masif.

Di sisi lain, sektor jasa kesehatan perlu mulai melakukan transformasi untuk dapat mempertahankan pertumbuhan selepas pandemi COVID-19 berubah menjadi endemi.

"Yang mungkin harus siap-siap justru adalah jasa kesehatan karena mungkin tidak ada tes PCR dan antigen lagi jadi harus mentransformasi diri untuk menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan setelah tidak ada windfall akibat pandemi," ucapnya.

Ia menambahkan ke depan pemerintah perlu menjaga harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, terutama harga energi seperti bahan bakar minyak, gas, dan listrik, agar tidak naik terlalu tinggi.

"Kalau itu bisa ditahan, kemungkinan pertumbuhan kuartal II 2022 dapat lebih bagus dari kuartal I karena momentum lebaran meningkatkan ekonomi jauh lebih tinggi dibandingkan awal tahun saat belum ada stimulus selain kebijakan pemerintah," katanya.

Inflasi yang mencapai 3,47 persen year on year pada April 2022 juga mesti diwaspadai karena dapat menghambat penyaluran kredit perbankan.

Eko menerangkan apabila inflasi terus naik, perbankan berpotensi meningkatkan suku bunga untuk menjaga likuiditasnya sehingga pelaku usaha enggan mengambil kredit.

"Kalau pertumbuhan kredit sangat lambat atau hanya 5 sampai 6 persen, tidak akan cukup untuk membuat pertumbuhan ekonomi 2022 mencapai di atas 5 persen year on year," kata Eko.