JAKARTA - Serikat Petani Kelapa Sawit mendukung langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunanya termasuk minyak goreng. Keputusan tersebut diambil untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengatakan pihaknya percaya penghentian ekspor yang sifatnya sementara ini mampu menjaga ketersediaan minyak goreng yang merata dalam negeri dengan harga yang bisa di jangkau.
"Sebab para pelaku usaha, selalu sibuk memikirkan supply produk olahannya ke luar negeri karena menguntungkan dan mereka melupakan tugasnya memenuhi kebutuhan dalam negeri," tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, dikutip Senin, 25 April.
Namun, Darto mengakui imbas dari kebijakan tersebut ada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di beberapa lokasi. Sejak kemarin, TBS di Sekadau Kalimantan Barat menurun Rp400 per kg. Sementara di Jambi turun Rp500 per kg.
Karena itu, menurut Darto, solusi untuk masalah ini adalah harus ada pencatatan di pabrik soal nama-nama petani yang supply buah masuk pabrik. Sebab ini akan menguntungkan pabrik perusahaan karena ketika ada situasi normal, mereka akan menjual CPO dengan harga normal tetapi mereka membeli buah sawit dari petani dengan harga murah.
"Pencatatan di pabrik harus jelas, sehingga keuntungan mereka tadi saat situasi normal bisa dikembalikan kepada petani uangnya. Ini solusi alternatif," tuturnya.
Solusi lain, lanjut Darto, alokasikan dana Sawit di BPDP-KS dengan program yang inovatif. Misalnya dengan bantuan pupuk atau berdasarkan kebutuhan petani.
"Sebab kalau harga turun, petani tidak bisa membeli pupuk," jelasnya.
BACA JUGA:
Darto mengatakan bahwa masalah ini akan selalu terjadi ke depannya, sebab pelaku usaha minyak goreng menguasai hulu hingga hilir minyak sawit, dengan miliki kebun juga memiliki refinery minyak goreng.
"Mereka hanya segelintir orang. Sayangnya, negara tidak memiliki refinery minyak goreng. Bapak Presiden harus memperkuat koperasi petani ataupun badan usaha negara untuk mengembangkan refinery minyak goreng baik skala mikro maupun skala besar," ucapnya.
Dengan memperkuat koperasi, kata Darto, negara tidak kalah dengan segelintir orang yang menguasai hulu hingga hilir industri minyak goreng dalam negeri.
"Ini juga bahaya bagi keamanan ekonomi dan politik dalam negeri. Dengan kartelisasi saja, bisa memporak-porandakan stabilitas politik dalam negeri," jelasnya.