JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut bahwa pengaturan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsolidasi fiskal dan langkah penyehatan APBN untuk mendukung penerimaan perpajakan yang optimal dan berkesinambungan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan penyesuaian tarif PPN yang dilakukan saat ini merupakan cerminan dari prinsip gotong royong.
“Bagi masyarakat yang mampu membayar lebih besar dan yang tidak mampu dibantu. Masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku UMKM pun terus mendapat dukungan,” ujarnya dalam keterangan pers pada Senin, 18 April.
Menurut Yustinus, selama ini seluruh lapisan ekonomi masyarakat harus menanggung beban PPN yang sama.
“Semestinya yang mengonsumsi barang atau jasa lebih banyak atau lebih eksklusif harus diatur secara terpisah agar tercipta keadilan dalam pemungutan pajak,” tutur dia.
Anak buah Sri Mulyani itu mengungkapkan pula meskipun ada barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi mengingat diberikan fasilitas pembebasan pungutan pajak.
BACA JUGA:
“Menghadapi pandemi COVID-19, APBN telah menjadi instrumen utama untuk melindungi masyarakat dan memulihkan ekonomi. APBN selalu menjadi bantalan sehingga ekonomi nasional agar tidak terperosok lebih dalam. Jika ditunda, program-program perlindungan sosial akan turut terimbas,” jelas dia.
Sebagai informasi, pemerintah menyusun Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan yang diklaim berguna untuk membangun fondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, dalam jangka menengah dan panjang.
Salah satu amanat dalam UU HPP tersebut adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang berlaku sejak 1 April 2022.
“Pajak merupakan instrumen penting untuk menopang perekonomian Indonesia. Untuk itu, agar dapat membiayai pembangunan dan menjaga kesehatan APBN dibutuhkan penerimaan negara yang kuat. Fondasi sistem perpajakan pun perlu dilakukan pembenahan yang berkelanjutan,” tutup Yustinus.