Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri mengingatkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak tergoda untuk menambah masa jabatannya menjadi tiga periode. Usulan tersebut bukan tanpa alasan, Faisal mengatakan jika dipaksakan, Jokowi bisa kehilangan legacy atau warisan yang ditinggalkan saat tak lagi menjabat sebagai kepala negara.

"Mudah-mudahan Pak Jokowi tidak tiga periode atau ditambah masa jabatannya. Karena semakin ditambah masa jabatannya yang bagus-bagus (hasil kerjanya) bisa jadi jelek dan akhirnya Pak Jokowi tidak menyisakan apa-apa, kecuali cuma kerusakan lingkungan dan utang yang menumpuk. Karena itu kita sayang Pak Jokowi cukup sampai 2024," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 7 April.

Faisal mengatakan bahwa legacy yang dapat ditinggalkan Jokowi adalah inflasi yang rendah. Menurut dia, pertama kali dalam sejarah setelah Indonesia merdeka di masa jabatan Jokowi inflasi bisa ditekan sangat rendah.

"Legacy Pak Jokowi saya rasa yang tidak boleh dilupakan adalah pertama kali dalam sejarah setelah merdeka, Pak Jokowi menghadiahi rakyat Indonesia dengan inflasi yang rendah. Dan inflasi rendahnya konsisten, ini prestasi luar biasa," ucapnya.

Tak hanya itu, kata Faisal, di masa pemerintah Jokowi juga tidak ada lagi terjadi lonjakan harga yang tinggi saat Ramadan. Menurut dia, tidak relevan lagi sekarang kita bicara Ramadan harga-harga naik.

Lebih lanjut, Faisal menilai Jokowi memang terobsesi untuk mengendalikan inflasi. Karena itu, kata dia, Jokowi betul-betul mengendalikan diri tercermin dari tahun ke tahun inflasi pada bulan Ramadan dan Lebaran menurun.

"Karena prestasi Pak Jokowi yang fenomenal ini terbatas, mungkin satu-satunya (mengendalikan) inflasi, jangan sampai di akhir masa jabatan Pak Jokowi kehilangan legacy, tidak bisa lagi kita sebut dia pahlawan untuk mengamankan inflasi ini," jelasnya.

Namun, Faisal menyayangkan bahwa ternyata cara Jokowi mengendalikan inflasi adalah dengan metode injak kaki, bukan memperbaiki pasokan dan bukan memperbaiki logistik. Dimana Jokowi sangat konsen sekali namun dengan cara-cara ingin hasil cepat.

Contohnya, subsidi BBM seolah-olah turun padahal terus naik. Untuk Pertalite itu subsidinya Rp4.000 sampai Rp4.500 dengan 23 juta kilo liter. Kemudian solar Rp7.800, Pertamax walaupun harga sudah dinaikan tapi masih ada subsidi Rp3.500 yang ditalangi Pertamina.

"Nah akhirnya subsidi ini menggelembung tidak mampu (karena) ada krisis perang, tidak bisa lagi dilakukan dan sebentar lagi saya rasa akan nyerah pemerintahnya karena subsidinya luar biasa," ujarnya.

"Jadi selama ini bisa kita katakan bahwa inflasi rendah semu belaka. Injak kaki, itu yang pertama," tuturnya.