Bagikan:

JAKARTA – Sikap pemerintah yang menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April lalu mendapat perhatian tersendiri dari Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) Darussalam.

Menurut dia, saat ini banyak negara mengandalkan dua jenis penerimaan pajak, yakni Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Masalahnya sekarang ini untuk mendapatkan penerimaan pajak dari PPh itu tidak gampang lagi karena banyak modus-modus penghindaran pajak berganda yang dilakukan oleh wajib pajak (WP) tidak bisa deteksi sedemikian cepat. Makanya banyak negara berpikir dan beralih untuk menempatkan PPN menjadi andalan penerimaan pajak,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual pada Selasa, 5 April.

Darussalam menambahkan, faktor inilah yang membuat pemerintah kemudian mengarahkan peningkatan sektor penerimaan dari PPN.

“Jadi karena semakin susah untuk penerimaan PPh, maka banyak negara beralih menuju PPN. Dan sebenarnya kalau kita melihat di banyak negara, penerimaan PPN itu sudah mendekati PPh,” tutur dia.

Bos DDTC itu juga mengungkapkan alasan lain mengapa PPN terus digenjot.

"Lalu kenapa PPN sekarang menjadi andalan? Karena PPN dalam konteks penerimaan negara itu lebih mudah dikenakan dari pada PPh, apalagi di masa pandemi. Jadi kalau kita lihat reformasi di banyak negara mereka memang fokus bagaimana penerimaan itu di dapat dari PPN atau dari konsumsi,” katanya.

“Dari pengalaman 2008 menyebutkan bahwa ketika keluar dari krisis itu konsumsi lebih cepat tumbuh dari pada penghasilan. Oleh karenanya pengenaan pajak yang berbasis konsumsi dalam hal ini PPN menjadi sasaran strategis,” tegas dia.

Darussalam pun memastikan jika optimalisasi tarif PPN adalah sebuah upaya telah sejalan dengan tren global maupun internasional.

“Jadi PPN ini dilakukan di banyak negara dan bukan di Indonesia saja. Jadi apa yang dilakukan oleh pemerintah bukan yang aneh-aneh karena kita tidak sendirian,” tutup Darussalam.