JAKARTA - Saat ini, kondisi ekonomi Indonesia dipandang mengalami tekanan akibat kondisi eksternal yang masih dalam posisi kurang stabil yang dipicu oleh krisis Rusia-Ukraina, dan kebijakan tapering yang dilakukan The Fed serta melonjaknya harga sejumlah komoditas.
Asumsi yang mendasari ini adalah melemahnya sejumlah indikator makro seperti nilai tukar rupiah, pergerakan IHSG maupun inflasi. Bahkan ada sebagian pihak yang mempertanyakan kemampuan fiskal dan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menahan gejolak ekonomi yang tengah terjadi ini.
Di luar hal tersebut, ada kabar gembira yang luput dari perhatian banyak pemerhati ekonomi. Berdasarkan data yang dilansir oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 malah menunjukkan kinerja yang positif selama periode Januari-Februari 2022.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat mengatakan, berdasarkan data yang dikeluarkan Kemenkeu, selama 2 bulan pertama 2022 ini, penerimaan negara mencapai Rp302,4 triliun atau tumbuh sebesar 37,7 persen (YoY).
Penerimaan negara ini berarti 17 persen dari target penerimaan tahunan yang sebesar Rp1.743 triliun. Tentu Saja ini sebuah prestasi besar di tengah kondisi ekonomi dunia yang dinamis ini dan patut diapresiasi.
"Secara porsi, salah satu kontributor terbesar dalam penerimaan negara adalah pajak dengan nilai mencapai Rp119,4 triliun" kata dia dalam keterangan tertulis, Senin 4 April.
Di sisi pengeluaran, kenaikan komoditas, terutama energi, dikhawatirkan akan membebani keuangan negara, khususnya dalam hal peningkatan kenaikan subsidi. Kenaikan harga komoditas ternyata tidak serta merta menjadi risiko untuk postur fiskal Pemerintah jika disertai oleh kenaikan pendapatan negara.
"Kenaikan harga komoditas tidak selalu membawa dampak buruk bagi keuangan negara. Sebagai contoh, pada tahun 2021, minyak sawit, batu bara, dan logam dasar menyumbang 38 persen dari ekspor Indonesia dan menyumbang surplus perdagangan yang lebih besar 4x lipat dari defisit perdagangan minyak. Hal ini turut menyumbang pendapatan negara khususnya pada komponen Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berpotensi mengalami pertumbuhan sebesar Rp8,5 triliun per bulannya akibat kenaikan harga komoditas," jelas Budi.
"Pada 2 bulan pertama 2022 ini saja, perolehan PPh Migas telah mencapai 28,6 persen dari target tahunan. PPh Migas Ini dikutip dari arus keluar masuk migas," imbuh Budi.
Kenaikan harga komoditas yang masih berlanjut diperkirakan dapat memperbaiki postur fiskal Indonesia. Hal ini akan berdampak baik pada proyeksi defisit APBN yang berpotensi menipis.
"Sejak APBN 2022 disahkan pada tahun lalu, komponen belanja pemerintah tercatat hampir tidak tumbuh di tahun ini. Dengan kata lain, mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 adalah sektor swasta, bukan lagi belanja pemerintah. Hal ini kami perkirakan sudah priced-in di pasar saham." tutur Budi.
BACA JUGA:
"Pasar saham justru sedang menikmati dampak positif kenaikan harga komoditas global, serta sektor keturunannya yakni big ticket items seperti properti dan otomotif. Dan menurut kami, ini merupakan tanda yang bagus karena sektor swasta mulai bergerak kembali," imbuhnya.
Sementara itu pendapatan negara yang tumbuh positif ditopang oleh harga komoditas sepanjang tahun 2021, menyebabkan bertambahnya kelebihan pendanaan atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang dapat digunakan untuk mendanai kebutuhan tambahan yang mendesak.
Selain Itu, tercatat akumulasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) pada akhir tahun 2021 sebesar Rp333 triliun. Angka ini jauh melebihi rata-rata SAL tahun-tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp100 triliun. Hal ini juga berarti sehatnya pengelolaan keuangan negara.
Dengan masih berlanjutnya harga komoditas yang tinggi, realisasi APBN di bulan Januari 2022 mengalami surplus, dan menyumbang SILPA sebesar Rp25,9 triliun. Buffer fiskal ini diyakini menjadi salah satu komponen yang dapat digunakan Pemerintah dalam mengendalikan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika kondisi mendesak.
"Kami melihat posisi inflasi masih dapat terkendali dan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan konservatif sebesar 5,2 persen masih mungkin dicapai," katanya.
"Dengan melihat posisi APBN ini, dapat dikatakan bahwa APBN kita sudah berjalan on track dan pemerintah akan mampu membuat kebijakan guna merespon perkembangan situasi saat ini. Kami melihat pemerintah memiliki dana yang sangat cukup untuk melakukan intervensi apabila diperlukan. Jadi kami optimistis dengan kemampuan Pemerintah Indonesia dalam merespon kondisi saat ini," tutup Budi.