Pengamat Sebut 5 Hal Ini Bikin Shell, Chevron Hingga ConocoPhillips Tarik Investasi Migas dari Indonesia
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Energy Watch Sekaligus Pengamat Energi Mamit Setiawan mengungkapkan lima hal yang menyebabkan pemain besar di sektor hulu minyak dan gas (migas) asing meninggalkan proyeknya di Indonesia.

Beberapa perusahaan asing yang dimaksud seperti Shell, Chevron, hingga ConocoPhillips. Mereka satu per satu berencana menarik investasinya dari Indonesia.

Pertama, kata Mamit, tidak adanya kepastian hukum yang dapat melindungi investor. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak potensi besar namun tidak didukung oleh kepastian hukum. Ia menyorotti revisi UU Migas yang hingga kini tak kunjung selesai juga.

"Padahal investor sangat membutuhkan kepastian hukum mengingat industri hulu migas adalah high risk dan high cost. Jadi, mereka bisa merasa secure untuk berinvestasi di Indonesia. Jangan sampai nanti ganti menteri atau pemerintahan maka ganti kebijakan. Penghormatan terhadap kontrak adalah yang utama," ujar Mamit kepada VOI, Jumat, 11 Maret.

Kedua, ia menilai kebijakan fiskal Indonesia kurang atraktif jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand.

"Padahal, kebijakan yang atraktif sangat diperlukan bagi investor mengingat industri hulu migas ini butuh waktu lama untuk mencapai tahapan produksi," imbuh Mamit.

Ketiga, isu sosial dan politik di Indonedia. Hal ini sangat penting dalam menjaga keamanan untuk industri hulu migas.

"Banyaknya gangguan di masyarakat dan daerah membuat investor sulit berinvestasi di Indonesia," tambahnya.

Keempat, kemudahan perizinan. Panjangnya perizinan untuk berinvestasi di hulu migas membuat investor merasa membuang waktu dan biaya karena izinya bisa lintas kementerian dan lembaga.

Kelima, kondisi lapangan migas Indonesia yang sudah mature dan sudah memasuki fase natural decline sehingga menjadi kurang menarik bagi investor.

"Jika pun masih ada potensi besar, itu berada di Indonesia Timur dan di daerah lautan sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar," pungkas Mamit.