Bagikan:

JAKARTA - BPOM sudah resmi mengeluarkan persetujuan penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk vaksin Sinopharm, sebagai vaksin dosis lanjutan atau booster homolog untuk dewasa 18 tahun ke atas.

Dengan demikian, masyarakat yang telah mendapat vaksin Sinopharm dosis primer lengkap sekurang-kurangnya 6 bulan, sudah bisa menerima vaksin booster produksi Beijing Bio-Institute Biological ini.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir menyambut gembira dengan telah diterbitkannya EUA Vaksin Sinopharm untuk dosis lanjutan atau booster tersebut.

"Alhamdulillah, EUA dosis lanjutan atau booster untuk Vaksin Sinopharm telah dikeluarkan oleh Badan POM. Saya juga bersyukur, bahwa sertifikat vaksin Sinopharm sudah tersedia di PeduliLindungi," tuturnya dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis, 17 Februari.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk Verdi Budidarmo mengatakan bahwa vaksin lanjutan atau booster Sinopharm ini hadir untuk membantu percepatan program vaksinasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah.

"Setelah dilakukan booster dengan Sinopharm tersebut, sertifikat untuk vaksin dosis lanjutan atau booster bisa diakses di Peduli Lindungi," kata Verdi.

Verdi mengatakan klinik Kimia Farma yang tersebar di seluruh Indonesia juga telah siap untuk pelaksanaan vaksinasi dosis lanjutan tersebut.

"350 klinik Kimia Farma yang tersebar di seluruh Indonesia sudah siap untuk melaksanakan vaksinasi lanjutan atau booster dengan vaksin Sinopharm," tuturnya.

Sekadar informasi, Badan POM telah melakukan evaluasi terhadap aspek khasiat dan keamanan mengacu pada standar evaluasi vaksin COVID-19 untuk vaksin Sinopharm sebagai dosis booster homolog untuk dewasa 18 tahun ke atas. Vaksin Sinopharm sebagai booster umumnya dapat ditoleransi dengan baik.

Frekuensi, jenis, dan keparahan reaksi sampingan atau kejadian yang tidak diharapkan (KTD) setelah pemberian booster lebih rendah dibandingkan saat pemberian dosis primer.

Adapun KTD yang sering terjadi merupakan reaksi lokal seperti nyeri di tempat suntikan, pembengkakan, dan kemerahan serta reaksi sistemik seperti sakit kepala, kelelahan, dan nyeri otot, dengan tingkat keparahan grade 1-2.

Dilihat dari aspek imunogenisitas, peningkatan respon imun humoral untuk parameter pengukuran antibodi netralisasi dan anti IgG masing-masing sebesar 8,4 kali dan 8 kali lipat dibandingkan sebelum pemberian booster. Respons imun setelah pemberian booster ini lebih tinggi dibandingkan respons imun yang dihasilkan pada saat vaksinasi primer.