Kiamat PLTU Makin Dekat, Anak Buah Sri Mulyani Ungkap 2056 Sudah Habis: Kami Inginnya Dipercepat
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu (Foto: Tangkapan layar kanal virtual G20)

Bagikan:

JAKARTA – Indonesia secara konsisten membawa isu lingkungan dan perubahan iklim dalam agenda pertemuan di forum G20 tahun ini.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa salah satu langkah konkrit yang ditunjukan RI adalah dengan menargetkan penghentian produksi energi yang berasal dari batu bara melalui Pembangkin Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Saat ini kita sedang menyiapkan yang namanya energy transition mechanism (mekanisme transisi energi) yang akan menghubungkan antara pembangunan pembangkit listrik EBT (energi baru dan terbarukan) dengan facing down coal,” ujarnya dalam seminar virtual bertajuk Strategic Issues in G20, Kamis, 17 Februari.

Menurut Febrio,diperlukan upaya berkesinambungan antara rencana pendirian pembangkit energi ramah lingkungan dengan ikhtiar mengurangi peran PLTU.

“Kita tidak bisa hanya membangun pembangkut listrik EBT, tetapi kita juga harus mulai untuk menurunkan PLTU-nya,” tutur dia.

Bahkan, Febrio menyebut jika pemerintah telah memiliki skenario untuk menutup semua PLTU pada tiga dekade mendatang. Katanya, langkah ini mau tidak mau harus dijalankan sebagai konsekuensi sikap Indonesia yang terus mengupayakan penciptaan lingkungan hijau.

“Kalau yang existing scenario sekarang, menurut umur dari PLTU yang ada saat ini, pada 2056 adalah tahun dimana kita tidak ada lagi PLTU batu bara. Jadi itu adalah skenario kita dengan juga memperhatikan bahwa tidak akan lagi PLTU yang dibangun, dan ini sudah ada dalam pipeline pemerintah,” jelas dia.

Apabila skema yang dirancang berjalan dengan sukses, maka cita-cita RI menuju net zero emission bakal semakin nyata.

“Kita sebenarnya menuju net zero emission yang menjadi inisiatif kita. Kita ingin itu lebih cepat dan jangan sampai harus menunggu hingga 2056,” tegas dia.

Sebagai langkah mitigasi kebutuhan energi, Febrio pun mengaku pemerintah telah menyiapkan strategi bantalan bagi penyelenggara PLTU, termasuk dalam bentuk kompensasi tertentu. Tidak hanya itu, dia mengungkapkan pula jika penyelenggara negara bakal terus memperhatikan aspek pasokan energi ke masyarakat dalam wacana transisi energi yang dilakukan.

“Kami membangun listrik EBT dengan memastikan supply and demand listrik tetap terjaga. Jangan sampai kita paksakan PLN-nya untuk membeli listrik dari EBT tapi ternyata demand listriknya belum naik, ini bisa buat rugi PLN. Kalau PLN rugi , pasti APBN juga rugi, ini saya tidak mau,” ucap dia.

“Kemudian kalau facing down coal ada biaya apa tidak? Ya jelas ada biayanya, karena mereka (PLTU) sudah beroperasi dan kemudian kita minta mengurangi masa produksinya, tentu ada kompensasi yang harus disiapkan. Inilah mengapa saya sebut ada konektivitas antara facing down coal dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT. Nanti ada funding yang masuk disitu dan tidak hanya ditanggung oleh Indonesia tapi juga oleh masyarakat global,” tutup Febrio.

Sebagai informasi, energi fosil menyumbang sekitar 85 persen dari seluruh listrik yang dihasilkan oleh Indonesia. Dari jumlah tersebut, batu bara (PLTU) menjadi penyokong utama dengan persentase sebesar 47 persen.