Bagikan:

JAKARTA - Kementerian ESDM melalui Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pembahasan mengenai pemberlakuan pajak karbon (carbon tax) masih dalam tahap mengharmonisasikan dua regulasi yakni perihal pungutan dalam Perpres Nilai Ekonomi Karbon dan terdapat istilah pajak karbon dalam UU Pajak.

"Dari sisi mekanisme, karena ini akan terlibat nanti kementerian keuangan dan KLHK. Ini juga terus kita koordinasikan dengan Kemenkomarves,” ujarnya, Senin 17 Januari.

Dadan melanjutkan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga tengah mendiskusikan akan melakukan perdagangan di bursa efek atau Bappebti.

"Ada juga kemungkinan membuka lembaga baru untuk mekanisme ini," imbuh Dadan.

Untuk tahap awal pada 1 April 2022, pajak karbon akan mulai ditetapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COe2) atau satuan setaranya.

Mekanismenya dengan menetapkan cap atau batas maksimal emisi untuk tiap sektor dan pajak akan ditetapkan pada emisi di atas cap tersebut, bukan atas keseluruhan emisi. Pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian Nationaly Determined contribution (NDC) Indonesia.

Sementara itu untuk carbon trading, lanjut Dadan, pihaknya belum menentukan besaran pasti harga yang akan dikenakan harga pasti namun akan dikombinasikan antara supply dan demand.

"Tidak ditetapkan harganya, tapi tentu saja dari sisi stabilisasi harga harus ada mekanismenya sehingga tercapai upaya penurunan gas rumah kacanya," kata dia.