JAKARTA – Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki sangkutan utang-piutang atas perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Terbaru, bungsu dari mantan Presiden Soeharto itu memberikan komentar terbarunya.
"Nggak ada penyitaan itu, orang nggak ada utangnya kok," ujar dia saat ambil bagian dalam peresmian pembangunan Club House New Palm Hill di Sentul Bogor pada Jumat, 17 Desember.
Pernyataan tersebut sekaligus mementahkan tindakan penyitaan oleh negara yang dipimpin Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang disebut-sebut sudah merampas sejumlah aset dari Tommy.
“Bulan depan kita tunggu,” ucapnya.
Lantas berapa sebenarnya utang Tommy Soeharto atas persoalan BLBI menurut Sri Mulyani Cs?
Berdasarkan catatan VOI, pada Kamis, 26 Agustus Satgas BLBI merencanakan pemanggilan terhadap Tommy Soeharto sesuai dengan keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021. Akan tetapi, yang bersangkutan tidak hadir dalam agenda yang ditetapkan.
Adapun, nilai utang Tommy Soeharto versi pemerintah mencapai nilai fantastis, yakni menyentuh angka triliunan rupiah.
“(Agenda pemanggilan) Menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI berdasarkan Penetapan Jumlah Piutang Negara Nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009 setidak-tidaknya sebesar Rp2,61 triliun,” kata Satgas BLBI beberapa waktu lalu.
Tidak hanya Tommy, Satgas juga melakukan pemanggilan di jadwal yang sama terhadap Pengurus PT Timor Putra Nasional yang beralamat Jalan Balai Pustaka Rawamangun, Jakarta Timur, serta Ronny Hendrarto Ronowicaksono.
Jejak Tommy Soeharto di BLBI
Dari informasi yang dihimpun redaksi, ‘Pangeran Cendana’ tercatat sempat menjadi pemilik Bank Pesona. Lembaga keuangan itu disebutkan menerima kucuran bailout dari Bank Indonesia sebesar Rp2,3 triliun.
Dana tersebut dimaksudkan sebagai talangan agar bank memiliki kemampuan menjaga arus kas saat terjadi gelombang penarikan uang oleh nasabah menyusul krisis 1998.
Meski telah diupayakan bisa bertahan melalui suntikan likuiditas bank sentral, Bank Pesona akhirnya diputuskan masuk dalam kategori Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada 13 Maret 1999. Hingga kemudian dilikuidasi pada 27 April 2004 oleh otoritas keuangan yang berwenang di negeri ini.
BACA JUGA:
Sita aset di Karawang
Pada Jumat, 5 November lalu, Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban memimpin upaya penyitaan aset jaminan PT Timor Putera Nasional (PTN) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Secara mendetail Rionald menjelaskan juru sita PUPN melakukan penyitaan dan pemasangan plang atas 4 aset tanah yang merupakan jaminan kredit PT TPN. Adapun, keempat aset tersebut yaitu:
1. Tanah seluas 530.125,526 m2 terletak di Desa Kamojing, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 4/Kamojing atas nama PT KIA Timor Motors.
2. Tanah seluas 98.896,700 m2 terletak di Desa Kalihurip, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 22/Kalihurip atas nama PT KIA Timor Motors.
3. Tanah seluas 100.985,15 m2 terletak di Desa Cikampek Pusaka, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 5/ Cikampek Pusaka atas nama PT KIA Timor Motors.
4. Tanah seluas 518.870 m2 terletak di Desa Kamojing, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 3/ Kamojing atas nama PT Timor Industri Komponen.
Dijual Rp1 juta permeter
Dalam kesempatan yang berbeda, Rionald memberikan keterangan penyitaan terhadap sejumlah bidang tanah dan bangunan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto telah memasuki tahap penaksiran harga jual.
Menurut dia, strategi ini dilakukan untuk memulihkan hak negara yang telah dipergunakan oleh Tommy atas bailout bank sentral puluhan tahun lalu.
“Terhadap aset-aset (Tommy Soeharto) yang kemarin disita sebagaimana yang telah kami sampaikan, jumlahnya adalah sekitar 124 hektar dan saat ini penilaiannya sedang dilakukan,” katanya
“Perkiraan yang ada, seandainya itu Rp500.000 per meter maka (harganya) sekitar Rp600 miliar. Tapi, jika itu Rp1 juta per meter maka nilainya Rp1,2 triliun,” tegas dia.
Sebagai informasi, Menkeu Sri Mulyani menyebut jika pemerintah hingga saat ini masih menalangi dana BLBI ke bank sentral senilai Rp110,454 triliun yang digelontorkan kepada obligor dan debitur saat krisis finansial 1997-1998 silam.
“Sampai hari ini pemerintah masih harus membayar BLBI itu ke bank sentral yang menggelontorkan dana ke perbankan yang pada saat itu mengalami kesulitan likuiditas,” ujarnya.