Bagikan:

JAKARTA - Aset kripto kini makin gencar diperdagangkan. Namun, baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengharamkan penggunaan cryptocurrency atau uang kripto sebagai mata uang dan tidak sah untuk diperdagangkan. Adapun keputusan tersebut diambil dalam Forum Ijtima Ulama.

Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee mengaku sepakat dengan MUI. Bukan tanpa alasan, ia mengatakan hal ini berangkat dari kekhawatiran mengenai uang kripto yakni ideologi. Menurut Hans, mereka para pendiri cryptocurrency sebenarnya adalah para penganut ideologi kapitalis murni.

Hans menjelaskan awal mula lahirnya kripto sebenarnya dari orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengan klasik ekonomi yang digagas oleh Adam Smith. Di mana, mereka berpandangan bahwa negara biarkan mengurusi urusan negara mulai dari keamanan, infrastruktur dan lainnya, sementara masyarakat dibiarkan bebas mengurusi kekayaan sendiri. Berawal dari ideologi itulah para pendiri kripto berkembang.

Lebih lanjut, Hans menjelaskan mereka juga merasa geram karena keleluasaan bank sentral dalam mencetak uang sehingga membuat nilainya jatuh. Akhirnya mereka memilih untuk membuat mata uang sendiri yang tidak bisa diatur oleh pihak manapun termasuk pemerintah.

Hans menilai hal tersebut berbahaya karena akan banyak masalah yang timbul. Pertama, jika uang dikendalikan langsung oleh masyarakat, maka pemerintah dalam hal ini bank sentral tidak bisa menghitung berapa jumlah yang yang beredar.

Selanjutnya, bagaimana menghitung inflasi dan menjinakkan demand. Hal ini tidak akan bisa terjadi jika mata uangnya dikendalikan masyarakat.

Kedua, kata Hans, dari aspek keamanan, pemerintah akan sulit mengetahui uang itu bisa dipakai untuk transaksi-transaksi ilegal. Seperti penjualan obat, menyogok, terorisme, perjudian maupun kejahatan lainnya.

"Berangkat dari itu semua, bahwa cryptocurrency itu tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Maka kami mendukung apa yang disampaikan oleh MUI bahwa ini memang tidak boleh dipakai untuk alat pembayaran. Dari sisi MUI tentu mengatakan aset ini tidak ada underlying-nya. Sehingga dia kesulitan menjadi alat pembayaran," tuturnya kepada VOI, Jumat, 12 November.

Hans mengatakan bahwa dasar pergerakan cryptocurrency adalah hanya demand dan supply. Hal tersebut berbeda dengan emas. Hans menjelaskan emas tidak sepenuhnya didasari demand dan supply. Menurut dia, jika masyarakat membeli emas batangan maka ke depannya bisa digunakan menjadi perhiasan.

"Bisa bikin anting, kalung, dan macam-macam. Ada demand dan supply di komoditas itu tetapi ada manfaat dari komoditas tersebut. Kita bilang perak, timah, nikel semuanya ada demand dan supply tetapi ada manfaatnya. Nah cryptocurrency ini cuma sebatas pada demand dan supply," jelasnya.

Menurut Hans, sebenarnya kripto memiliki manfaat yaitu sebagai alat pembayaran. Namun, di Indonesia hal tersebut tidak dapat dilakukan. Karena, satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah mata uang rupiah.

"Tetapi kan tidak bisa kripto digunakan sebagai alat pembayaran," ucapnya.

Mengenai aset kripto perlu ditolak atau tidak, Hans mengatakan hal ini menjadi pilihan pemerintah. Menurut dia, ketika masyarakat banyak melakukan investasi di aset tersebut, pilihan melokak itu menjadi sesuatu yang sulit dilakukan karena orang akan melakukannya dengan diam-diam.

Namun, kata Hans, jika pemerintah tidak melarang perdagangan aset kripto di Indonesia maka harus mengatur regulasi yang ketat terhadap mata uang kripto ini.

"Karena itu pemerintah memilih oke kita buat regulasi. Berbicara regulasi harus yang ketat dengan dasar mengatur adanya potensi-potensi yang bisa merugikan masyarakat," tuturnya.