JAKARTA - Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin telah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia sebelumnya ditetapkan tersangka dan dijemput paksa. Momen-momen penting proses hukum Azis diumumkan langsung oleh Firli Bahuri, Ketua KPK yang diangkat oleh Azis sendiri. Seberapa vital peran Azis dalam pengangkatan Firli?
Pada Jumat malam, 24 September, KPK menjemput paksa Azis dari rumahnya di Jakarta Selatan. Penjemputan paksa itu diumumkan oleh Firli kepada wartawan. "AS sudah diketahui. Rumahnya sudah ditemukan," kata Firli ketika itu.
Sebelum dijemput paksa, Azis sempat mangkir dari jadwal pemeriksaan pertamanya sebagai tersangka di KPK pada Jumat siang. Lewat surat, Azis mengaku sedang menjalani isolasi mandiri setelah berinteraksi dengan orang yang dinyatakan terpapar COVID-19.
Seperti disinggung Firli, KPK kemudian mengecek kondisi Azis dan memastikan ia nonreaktif. Azis kemudian digelandang ke Gedung Merah Putih. Tiba di KPK, Azis tampak dengan kemeja batik lengan panjang dan masker. Tak ada pernyataan yang disampaikan Azis.
Beberapa jam kemudian lewat tengah malam, KPK menggelar konferensi pers soal penahanan dan status tersangka Azis. Firli yang kembali muncul, kali ini bersama Azis yang telah mengenakan rompi oranye pertanda maling uang negara.
Selama 20 hari ke depan, terhitung 24 September hingga 13 Oktober 2021, Azis akan ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Polres Jakarta Selatan, "Setelah penyidik memeriksa para saksi kurang-lebih ada 20 orang saksi dan dikuatkan dengan alat bukti, maka tim penyidik melakukan penahanan kepada tersangka," tutur Firli ketika hari memasuki Sabtu, 25 September.
Azis angkat Firli jadi Ketua KPK
Asal tahu saja, peran Azis vital dalam pengangkatan Firli. Kala itu Azis masih menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR. Dilansir dari berbagai sumber, pada 12 September malam hingga 13 September 2019 dinihari, KPK memilih lima nama pimpinan KPK lewat voting.
Sebelum voting, Komisi III sempat mengadakan rapat tertutup selama 30 menit. Skema pemilihan lewat voting saat itu disepakati sekitar pukul 23.40 WIB. Hasil voting kemudian menetapkan nama Firli, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, dan Nawawi Pomolango.
Azis yang kemudian menetapkan aturan main dalam voting. Dalam pemilihan itu 56 anggota Komisi III DPR menuliskan lima orang calon pimpinan KPK pilihan mereka di kertas suara. Kemudian, para anggota juga harus menulis satu nama lagi yang mereka hendaki jadi Ketua KPK.
Selain menetapkan aturan main Azis yang kala itu berperan sebagai pimpinan rapat juga bertugas memandu pemungutan suara. "Mekanismenya bapak ibu kita pilih lima dari sepuluh, wajib. Kalau ada yang milih enam kita nyatakan gugur," tutur Azis sebelum voting dimulai dinihari 00.15 WIB.
Hasil voting menempatkan Firli sebagai calom pimpinan KPK dengan suara terbanyak, yakni 56 suara. Di bawah Firli ada Alexander dengan 53 suara, Nurul (51 suara), Pomolango (50), dan Lili (44). Setelahnya, Azis memaparkan tata cara menentukan ketua KPK.
Nama Firli pun terpilih sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Kala itu Firli masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan aktif. Terpilihnya Firli disambut tepuk tangan yang riuh. Azis saat itu juga sempat mengucap terima kasih untuk segala masukan terkait pemilihan pimpinan KPK.
Azis juga berkomentar tipis tentang pro dan kontra pemilihan para pimpinan KPK dalam ucapan terima kasihnya. Azis kemudian bangun dari duduknya dan menyalami para wakil ketua Komisi III DPR dan sejumlah peserta rapat, termasuk para pimpinan KPK dan Firli, tentu saja.
"Berdasarkan diskusi dan musyawarah seluruh fraksi hadir, dihadiri kapoksi dan perwakilan fraksi-fraksi menyepakati untuk menjabat pimpinan Ketua KPK masa bakti 2019-2023 sebagai ketua yang pertama adalah Firli Bahuri," kata Azis sebelum rapat berakhir.
Kontroversi pengangkatan Firli sebagai Ketua KPK
Azis, tentu saja memertaruhkan banyak saat itu. Pengangkatan Firli ke KPK bukan tanpa polemik. Angin penolakan begitu kencang disuarakan, baik oleh pegiat antikorupsi, LSM, mahasiswa, akademisi, bahkan ratusan pegawai KPK sendiri.
Pegiat antikorupsi, Saor Siagian kala itu mengungkap setidaknya ada 500 pegawai KPK yang menolak Firli. Angka itu diketahui dari petisi menolak Firli yang ditandatangani oleh para pegawai KPK. Saor sejak angka itu keluar langsung mewanti-wanti panitia seleksi calon pimpinan KPK.
"Saya bayangkan saya bisa suarakan, ini bukan hanya 200 tetapi 500. Barangkali ini pesan kepada Pansel apakah dia akan memilih orang yang akan ditolak, ya terserah. Tetapi itulah peran-peran yang bisa kita lakukan sebagai publik," kata Saor dalam Diskusi Kanal KPK, Rabu 28 Agustus 2019.
Pansel tak menggubris. Firli tetap lolos uji-kepatutan dan kelayakan. Penolakan ditanggapi Pansel dengan alasan mereka tak selamanya bisa menyenangkan semua pihak. Firli, menurut catatan memiliki sejumlah masalah yang memeloroti kredibilitasnya sebagai penegak hukum.
Firli disinyalir pernah menggelar pertemuan sembunyi-sembunyi dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang Majdi (TGB), Kala itu TGB merupakan pihak terkait dalam kasus dugaan korupsi kepemilikan saham pemerintah daerah PT Newmont pada 2009-2016.
Firli juga pernah diduga melakukan pertemuan terlarang lain dengan Baharullah Akbar. Saat itu Baharullah sedang menjalani pemeriksaan setelah menjadi saksi dalam kasus suap dana perimbangan, dengan tersangka Yaya Purnomo.
Menurut Dewan Penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari, Firli waktu itu terlihat menjemput Baharullah di lobi Gedung KPK. Lainnya adalah pertemuan Firli dengan pimpinan partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 2018 silam.
Terakhir, pelanggaran yang dilakukan Firli sebelum menjabat Ketua KPK adalah dugaan bagi-bagi tiket Westlife gratis. Firli kala itu diduga menebar 600 tiket Westlife ketika boyband Irlandia menggelar konser di Palembang pada Agustus 2019. Firli menolak semua tuduhan.
Kasus korupsi Azis Syamsuddin
Azis ditahan atas kasus dugaan suap pemberian hadiah dalam penanganan perkara di Kabupaten Lampung Tengah yang ditangani KPK. Bersama rekannya sesama kader Golkar, Aliza Guando, keduanya diduga memberi suap senilai Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS --sekitar Rp513 juta-- terkait persekongkolan dugaan maling uang rakyat.
Menurut dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) suap itu diberikan kepada Stepanus Robin Pattuju, eks penyidik KPK. Stepanus Robin diduga disumpal uang sekitar Rp3,613 miliar untuk mengurus sebuah kasus di Lampung Tengah.
Masih merujuk dakwaan, kasus itu melibatkan nama Azis dan Aliza. Selain Stepanus Robin, uang sumpalan juga diberikan untuk Maskur Husain, seorang pengacara. Total, keduanya menerima Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS atau sekitar Rp513 juta.
Menurut JPU KPK, Lie Putra Setiawan, pada Agustus 2020, Azis meminta tolong Stepanus Robin untuk berdiskusi dengan Maskhur Husain soal "apakah (Maskur) bersedia mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado terkait penyelidikan KPK di Lampung Tengah," tutur Lie membacakan surat Dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 13 September.
Setelahnya, diduga ada kesepakatan antara Stepanus Robin dan Maskhur. Kesepakatan itu disertai syarat imbalan uang Rp2 miliar dari masing-masing pihak, baik Azis maupun Aliza. Kemudian, uang berjumlah Rp300 juta diduga diberikan sebagai tanda bahwa Azis setuju. Dengan begitu total uang suap yang disepakati mencapai Rp4 miliar.
Menurut Lie Putra, uang muka Rp300 juta itu dibagi. Stepanus Robin menerima Rp100 juta. Sementara Maskur mendapatkan Rp200 juta. Pengiriman uang muka itu dilakukan lewat transfer rekening milik Azis Syamsuddin pada 3 dan 5 Agustus 2020. Di tanggal 5 itu Stepanus Robin disebut menerima uang tuna 100 ribu dolar AS dari Azis.
Stepanus Robin Pattuju di sidang Dewan Pengawas KPK (Sumber: Humas KPK)
Uang itu diserahkan di rumah dinas Azis di Jalan Denpasar Raya 3/3 Jakarta Selatan. Mendatangi rumah dinas Azis, Stepanus Robin diantar Agus Susanto. Stepanus Robin bahkan sempat menunjukkan uang yang ia terima kepada Agus. Selanjutnya, Stepanus Robin membagi uang itu ke Maskur dengan nilai 36 ribu dolar AS. Pemberian uang dilakukan di depan PN Jakarta Pusat.
Stepanus Robin kemudian menukarkan sisa uang 64 ribu dolar AS itu ke money changer dengan menggunakan identitas Agus. Dari pertukaran itu diperoleh uang Rp936 juta. Dari jumlah total, Stepanus Robin kemudian memberikan Rp300 juta kepada Maskur. Pemberian kali ini dilakukan di Rumah Makan Borneo, Keramat Sentiong.
"Mulai akhir Agustus 2020 sampai Maret 2021 terdakwa beberapa kali menerima sejumlah uang dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado dengan jumlah keseluruhan 171.900 dolar Singapura."
Transaksi demi transaksi terus terjadi setelahnya. Putaran uang antara Azis, Aliza, Stepanus Robin, dan Maskur mengalir lancar. Dalam perkara ini Stepanus Robin dan Maskur didakwa menerima uang Rp11,025 miliar dan 36 ribu dolar AS --sekitar Rp513 juta. Dengan begitu total uang yang diterima keduanya mencapai Rp11,5 miliar untuk pengurusan lima perkara.
Merinci sumber uang itu, sebanyak Rp1,695 miliar diberikan oleh M Syahrial, Wali Kota Tanjungbalai nonaktif; Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS diberikan Azis dan Aliza; Rp507,39 juta dari Ajay Muhammad Priatna; serta Usman Effendi dan Rita Widyasari yang masing-masing memberi sejumlah Rp 525 juta dan Rp5.197.800.000.
*Baca Informasi lain soal KORUPSI atau baca tulisan menarik lain dari Wardhany Tsa Tsia dan Yudhistira Mahabharata.