<i>Restorative Justice</i> dalam Kasus Kaos <i>404 Not Found</i>: "Dalih Justifikasi" Tindakan Aparat?
Mural-mural kritis (Berbagai sumber)

Bagikan:

JAKARTA - Kepala Analis CCIC Polri Mochammad Yunnus Saputra mengklaim polisi mengutamakan pendekatan restorative justice dalam menangani kasus kaos gambar 'Jokowi 404: Not Found.' Itulah mengapa polisi tak mengusut kasus tersebut. Terlepas dari hal itu, sebetulnya sejak awal polisi dinilai tak perlu menindak kasus itu. Atau jangan-jangan RJ ini hanyalah "dalih justifikasi" untuk tindakan aparat? 

Hari ini, Mabes Polri memastikan tak melanjutkan perkara mural '404: Not Found' yang ditempel ke lukisan dinding mirip muka Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono menegaskan kembali instruksi Mabes Polri agar kepolisian di seluruh daerah, agar tak reaktif, dan merespons berlebihan segala bentuk penyampaian aspirasi, dan kritik masyarakat terhadap pemerintahan maupun kepolisian.

“Kemarin, yang di Tangerang (perkara mural '404: Not Found') untuk sementara polisi tidak memproses kok. Itu tidak diproses,” kata Argo dalam sesi tanya jawab saat konferensi pers, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat 20 Agustus. 

Argo bilang, Polri menghargai segala bentuk ekspresi warga negara dalam penyampaian protes, maupun kritik. Karenanya, hal tersebut tak perlu berujung pada penindakan.

“Tentunya, dari kepolisian, sesuai dengan yang disampaikan Kabareskrim agar tidak represif. Kita (Polri), menghargai dari pada bentuk ekspresi orang, dan kebebasan masyarakat, dalam memberikan jiwanya yang dituang, dalam bentuk itu (mural),” jelas Argo. 

Sebelumnya, Polsek Batuceper, Tangerang sempat memeriksa dua saksi terkait karya mural '404: Not Found' yang sempat terpajang di kota Tangerang. Mural itu lalu dihapus. Polisi juga sempat memburu seniman pembuat mural kritis itu sebelum akhirnya memilih untuk melepaskan perkara tersebut. 

Mural mirip Presiden Jokowi di Tangerang (Sumber: Istimewa)

Sementara itu perkara yang menimpa seorang pria berinisial RS (29) yang menawarkan kaos bergambar 'Jokowi 404: Not Found' di media sosial sempat diciduk polisi pada 18 Agustus. Setelah ditangkap dan diinterogasi, ia akhirnya dibebaskan setelah membuat rekaman video yang berisi permintaan maaf. 

Mispersepsi

Kepala Analis CCIC Polri Mochammad Yunnus Saputra mengklaim dalam kasus kaos mural 'Jokowi 404: Not Found' Polri menerapkan restorative justice. "Kami terapkan restorative justice (RJ). Tidak ada penangkapan, tidak ada penahanan, dst," tulisnya lewat akun twitter @M1_nusaputra. 

Apa itu restorative justice? Seperti tertera pada laman badilum.mahkamahagung.go.id, restorative justice (RJ) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait dengan perkara. Alih-alih menyelesaikan masalah dengan cara memberikan balasan, mekanisme RJ bertujuan untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Polisi tengah menyelidiki dan mencari pembuat mural mirip Presiden Jokowi di Tangerang. (Foto: PMJ)

Saputra menjelaskan bila menggunakan contoh RJ lain, tak mungkin polisi diam jika ada penganiayaan yang berlangsung di depan mata. "Kami akan hentikan untuk cegah perlukaan yang lebih buruk. Namun, jika ternyata kasus itu diselesaikan antara ke-2 pihak, buat apa polisi lanjutkan penyidikan?"

Pernyataan ini lantas dipermasalahkan Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. "Jangan sampai kita semua dipanggil ke kantor polisi, alasannya RJ. Ini bahaya, masyarakat awam dipanggil ke kantor polisi itu sudah bentuk ketakutan tersendiri," kata Erasmus lewat akun twitternya @erasmus70. 

Sementara itu, Peneliti ICJR Iftitahsari menilai sejak awal pendekatan RJ pada kasus kaos mural ini tak bisa diterapkan. Ada mispersepsi di sini. "Karena prinsipnya kan RJ itu buat penyelesaian kasus tindak pidana, sedangkan untuk kasus kaos mural ini enggak ada proses hukum tindak pidananya," kata Iftitahsari kepada VOI. 

Kalau pun ada proses hukumnya, kata Iftitahsari, itu pun harus ada laporan dahulu ke polisi dari misalnya dalam kasus kaos mural ini Presiden Jokowi sebagai pihak yang merasa terhina atau korbannya. "Jadi in the first place RJ ini memang enggak bisa diterapkan di kasus ini."

Sebagai dalih belaka?

Peneliti ICJR Iftitahsari menjelaskan esensi dari restorative justice (RJ) adalah untuk pemulihan korban selain juga memperhatikan kepentingan tersangka. Lalu apabila tidak ada korban yang melapor dalam konteks kasus kaos mural 'Jokowi 404: Not Found', lantas apa yang mau di-RJ-kan? 

Iftitahsari menekankan, jangan sampai ada yang salah pengertian dan implementasi soal RJ. "Kalau akhirnya malah kesannya (RJ) dijadikan sebagai 'dalih justifikasi' aparat untuk melakukan penindakan."

Memang seperti dijelaskan Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar, RJ itu suatu prinsip yang bagus. Sebab RJ mengubah paradigma bahwa hukum pidana tak melulu soal menghukumi pelaku, tapi bagaimana ada upaya mendamaikan dan memulihkan pelaku, korban, dan masyarakat akibat dari suatu tindak pidana.  

Namun sayangnya, implementasi prinsip RJ sering tak sejalan dengan teorinya. "Karena RJ ditafsirkan hanya sebagai mekanisme perdamaian di luar proses peradilan. Itu mah namanya mediasi bukan RJ," tulis Dio. 

*Baca informasi lain tentang KASUS HUKUM atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya