JAKARTA – Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi aparatur negara mulai dicairkan sejak Senin (17/3/2025). Di tengah situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang, apakah THR dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta mendorong perputaran ekonomi di berbagai sektor?
Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menuturkan pencairan THR untuk ASN turun lebih cepat dari biasanya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, memperkuat konsumsi domestik, serta mendorong perputaran ekonomi di berbagai sektor, terutama perdagangan dan jasa.
Namun situasi ekonomi di Tanah Air bisa dibilang sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat diyakini akan berpikir dua kali menghabiskan THR untuk belanja kebutuhan selama Idulfitri di tengah lesunya perekonomian.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan, banyak orang menahan belanja karena situasi yang tidak pasti di tengah tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta makin terbatasnya peluang kerja.
Ketidakpastian Masa Depan
Cairnya THR menjelang Hari Raya Idulfitri sedianya menjadi momen membahagiakan. Uang THR termasuk salah satu yang paling dinanti-nanti keberadaannya.
Umumnya, THR digunakan untuk keperluan selama Ramadan dan libur Idulfitri, di mana bagi banyak orang pengeluaran di momen tersebut membludak. Mulai dari keperluan konsumsi yang meningkat, sampai pengeluaran selama mudik lebaran.
Tapi ada yang berbeda di tahun ini. Tingginya angka PHK sejalan dengan lonjakan pengangguran di Indonesia. Belum lagi kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah, disebut-sebut memberikan efek domino terhadap perekonomian.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada sekitar 80.000 orang di-PHK sepanjang 2024. Jumlah ini naik dari 60.000 PHK yang terjadi di tahun sebelumnya. Selain itu, sekitar 60 perusahaan disebut pemerintah berpotensi melakukan PHK massal pada 2025.

Salah satu yang telah terjadi adalah PHK terhadap 12.000 pekerja di perusahaan tekstil raksasa Sritex pada akhir Februari lalu.
Di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini, ada indikasi masyarakat lebih memilih tidak menggunakan uang THR untuk belanja alias ditabung. Dengan begitu, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian?
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira meramalkan akan lebih banyak orang menahan hasrat belanja karena situasi yang tengah lesu.
"Masyarakat berjaga-jaga, khawatir pasca-Lebaran gelombang PHK lebih tinggi lagi dan dia jadi korban PHK. Jadi ada ketidakpastian kerja ke depannya," kata Bhima.
Situasi ini diperparah dengan semakin banyak orang Indonesia yang masuk dalam kelompok generasi sandwich, yaitu kelompok masyarakat di usia produktif yang tidak hanya menanggung biaya hidup diri sendiri, tetapi juga anak, serta orangtua atau keluarga besar.
SEE ALSO:
Survei Litbang Kompas pada 2022 menunjukkan, sekitar 67 persen responden merupakan bagian dari generasi sandwich. Jika angkanya diproporsikan terhadap jumlah penduduk produktif Indonesia, jumlahnya sekitar 56 juta orang.
Generasi sandwich, kata Bhima, terpaksa mengalokasikan pemasukannya untuk kebutuhan keluarga.
“Jadi spending untuk hal yang berkaitan dengan diri sendiri bahkan sangat kecil. Kalaupun ada sisa, akan ditabung, disimpan. Kecenderungannya begitu,” jelas Bhima.
Tak Mampu Selamatkan Kelesuan Ekonomi
Dalam sebuah kesempatan, Haryo Limanseto menuturkan, percepatan pencairan THR ASN dengan alokasi sekitar Rp50 triliun diharapkan bisa memberi dampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro. Selain itu, juga bisa menjadi salah satu faktor pencapaian target pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2025.
Tapi dengan prediksi ekonom bahwa banyak warga yang memilih menabung sebagian THR daripada dibelanjakan, pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama 2025 bakal melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 5,1 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal meramalkan pada kuartal satu 2025 pertumbuhan ekonomi bisa hanya 4,9 persen atau bahkan di bawah itu.

Ia menjelaskan lemahnya daya beli yang terjadi saat ini disebabkan turunnya upah riil atau kemampuan uang yang terima masyarakat untuk membeli barang dan jasa. Banyak pekerja terpaksa hidup pas-pasan dengan gaji bulanan tanpa bisa menyisihkan sebagian pemasukan untuk tabungan.
Karena itu, keberadaan THR sangat penting karena bisa membantu pekerja meningkatkan konsumsi, termasuk untuk membeli makanan dan pakaian atau pulang kampung merayakan Idulfitri. Tapi di sisi lain, melihat perekonomian yang makin lesu, prediksi Faisal menyebut orang-orang akan lebih berhati-hati membelanjakan THR tahun ini.
Peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky mengamini hal tersebut. Menurutnya, THR saja tidak cukup untuk menyelamatkan perekonomian saat ini yang memang sedang lesu.

Untuk memperbaiki keadaan, Riefky menyarankan pemerintah menyelesaikan isu-isu mendasar atau struktural yang ada.
"Seperti isu produktivitas, penciptaan lapangan kerja, lalu kemudian lapangan kerja formal, meningkatkan daya beli masyarakat, itu semua harus dipecahkan dulu," ujar Riefky.
"Kalau itu enggak dipecahkan, maka saya rasa enggak ada yang bisa signifikan menggenjot kembali perekonomian,” pungkasnya.