Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut, kinerja ritel modern masih lesu di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik.

Diketahui, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,17 persen year on year (yoy) di kuartal II-2023.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, pertumbuhan cenderung lebih baik pada ritel tradisional dibandingkan ritel modern.

Roy menyebut, ritel modern hanya mampu tumbuh 1,2 persen (yoy) di kuartal II-2023. Padahal, di kuartal I-2023 mencapai pertumbuhan 2,6 persen.

Sedangkan ritel tradisional pada semester I-2023 tumbuh hingga 4,5 persen year to date (ytd).

"Ini yang saya bilang bertolak belakang, karena inflasinya merendah, pertumbuhan ekonominya meningkat, tetapi di sektor ritel modern ini justru rendah. Nah, ini yang menjadi keprihatinan kami. Aprindo sebagai asosiasi pengusaha ritel Indonesia melihat angka ini, ini yang menjadi keprihatinan kami," kata Roy kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 18 Agustus.

Secara kumulatif, Aprindo menyebut rata-rata pertumbuhan ritel secara nasional pada semester I-2023 mencapai sebesar 3,2 persen.

Menurut Roy, ada beberapa daerah yang mengalami pertumbuhan ritel di atas rata-rata nasional, seperti di Jakarta 7,8 persen, Bali dan Nusa Tenggara 15 persen, Sulawesi 7,5 persen, dan Jawa Tengah 4,8 persen.

Sementara di beberapa daerah pertumbuhan ritel masih di bawah rata-rata nasional, misalnya Kalimantan tumbuh 2,4 persen, Jawa Barat tumbuh 0,9 persen, Sumatera Utara dan Aceh 0,8 persen. Bahkan, di Jawa Timur pertumbuhan ritel minus 3,9 persen.

Roy mengatakan, inflasi bulanan juga dinilai cenderung membaik. Pada Juli 2023, inflasi tercatat sebesar 3,08 persen (yoy).

Namun, kata dia, inflasi yang membaik tersebut tidak diikuti oleh volume penjualan ritel modern, meskipun dari sisi nilai penjualan cenderung meningkat.

Dia menilai, adanya pergeseran perilaku konsumen di masa saat ini, yang mana masyarakat lebih memilih produk Minyakita di ritel tradisional, alih-alih minyak goreng kemasan premium di ritel modern.

"Jadi, ada (masyarakat) yang menahan belanja karena supaya secure (aman), ada yang menahan belanja atau mengurangi belanja karena ada pengeluaran-pengeluaran yang harus dikeluarkan, tetapi ada juga yang memang switching atau mengubah perilaku," ungkapnya.