JAKARTA – Rapat panitia kerja (panja) untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI yang digelar akhir pekan lalu menuai polemik. Masyarakat khawatir RUU TNI bisa meminimalisir pengawasan publik terhadap tindak-tanduk pemerintah.
Sejak akhir pekan kemarin, warganet ramai-ramai menyuarakan keresahan mereka terkait RUU TNI. Tagar #TolakRuuTNI pun viral di media sosial.
Hal ini bermula dari gelaran rapat panitia kerja (panja) Komisi I DPR RI untuk mengebut pembahasan RUU TNI selama dua hari pada akhir pekan kemarin, yaitu Jumat (14/3/2025) dan Sabtu (15/3) di hotel bintang lima, Fairmont, Senayan, Jakarta.
Namun rapat tertutup tersebut menuai kontroversi. Pertama, karena pemerintah menggelar rapat di hotel mewah padahal tengah melakukan efisiensi. Belum lagi kesan terburu-buru dan tidak transparan dalam pembahasan RUU tersebut.

Apalagi saat rapat panja DPR digelar, terlihat dari luar hotel tersebut diparkir sejumlah kendaraan taktis (rantis) milik TNI.
“Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan,” demikian pernyataan koalisi sipil.
Mengembalikan Dwifungsi ABRI
UU TNI yang kini tengah direvisi usianya hampir 21 tahun, setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menandatanganinya pada 16 Oktober 2004. Revisi UU TNI dilakukan menyusul adanya surat dari Presiden Republik Indonesia Nomor R12/Pres/02/2025 tanggal 13 Februari 2025 tentang penunjukan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menuturkan, Presiden Prabowo Subianto menunjuk empat menteri yaitu Menteri Hukum, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Sekretaris Negara untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Adapun revisi itu antara lain mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Alasan inilah yang membuat masyarakat kompak menentang RUU TNI.

Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menjelaskan, awalnya terdapat 10 kementerian/lembaga yang bisa diduduki TNI aktif, sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 UU TNI.
Instansi-instansi yang dimaksud adalah kantor yang membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Namun dalam RUU TNI, instansi yang bisa dirambah TNI bertambah lima, menjadi 15 kementerian/lembaga, yaitu Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT, Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Lalu pada pembahasan Panja RUU TNI ada penambahan satu badan yang nantinya bisa diduduki prajurit TNI aktif, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Sehingga, total ada 16 kementerian/lembaga yang bisa ditempati prajurit TNI aktif.
BACA JUGA:
Artinya, apabila ada prajurit TNI aktif yang menduduki suatu jabatan di luar kementerian/lembaga tersebut, maka prajurit TNI itu harus mengundurkan diri dari kedinasan.
Saat ini, lebih dari 2.500 anggota TNI menduduki jabatan sipil di Indonesia. Jika UU TNI jadi direvisi, jumlah tersebut akan bertambah dan masyarakat khawatir hal ini berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI era Orde Baru.
Tidak Menghormati Amanat Reformasi
Dalam keterangan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RUU TNI bermasalah, karena terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau Dwifungsi TNI di Indonesia, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil.
"Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah ikut menyoroti RUU TNI yang tengah ramai diperbincangkan khalayak. Ia pun membandingkan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sama-sama dari kalangan militer.
Meski keduanya sama-sama Jenderal Bintang 4, Dedi menilai SBY lebih bijak dalam membuat keputusan terkait institusi TNI.

Menurut Dedi, upaya Prabowo menempatkan anggota TNI menempati jabatan sipil di lebih banyak kementerian/lembaga melalui RUU ini sama saja tidak menghormati amanat reformasi yang telah diperjuangkan sebelumnya.
“Nuansa dwifungsi TNI seperti era ABRI memang terlihat, dan ini cukup mengkhawatirkan, SBY juga militer elit, tetapi SBY cukup dewasa dan patuh pada amanat reformasi, dan hasilnya Indonesia dipimpin dengan minim kegaduhan,” ujar Dedi saat dihubungi VOI.
Lebih lanjut, Dedi menilai adanya revisi UU TNI menjadi bukti terkini bahwa Prabowo cenderung mengikuti gaya kepemimpinan Soeharto, presiden kedua Indonesia.
Mengenai kekhawatiran publik akan kembali hadirnya Dwifungsi TNI, Dedi menilai itu adalah hal yang wajar. Karena dengan begitu, bisa meminimalisir pengawasan publik terhadap tindakan-tindakan pemerintah.
“Publik tentu layak khawatir, dengan dominasi militer di posisi elite, ini bisa mengerdilkan peluang pengawasan publik,” imbuhnya.

Selain itu, kata Dedi, tidak ada yang bisa memastikan TNI antikritik atau tidak. Namun banyaknya kriminalisasi terhadap pengkritik pemerintah menjadi bukti adanya sifat antikritik.
Maka dengan keterlibatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil membuat hal tersebut semakin sulit dikendalikan oleh masyarakat. Hasilnya, Indonesia kembali ke zaman Orde Baru (Orba) seperti era Soeharto dengan wajah Prabowo.
“Terbukti militer antikritik, saat ini sekalipun sudah terlihat di mana kritik publik secara langsung dilawan dan dianggap musuh,” Dedi menyudahi.