Bagikan:

JAKARTA – Publik menunggu seberapa jauh ketegasan otoritas hukum menindak mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman.

Polri telah resmi menetapkan Fajar sebagai tersangka dalam kasus pencabulan anak di bawah umur dan penyalahgunaan narkotika. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana tersebut setelah menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta.

"Tersangka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak bawah umur dan persetubuhan tanpa ikatan sah," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko.

Diketahui ada tiga anak berusia di bawah umur dan satu perempuan dewasa yang menjadi korban pelecehan seksual Fajar. Ia juga diduga merekam perbuatan seksualnya dan mengunggah video tersebut ke situs atau forum pornografi anak di darkweb Australia.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan memajang tulisan saat mengikuti aksi Kamisan Ke-853 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/2/2025). Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah termasuk tindak lanjut dari berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM. (ANTARA/Dhemas Reviyanto/YU)

Atas tindakannya ini, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan kejahatan yang dilakukan Fajar bukanlah kejahatan yang mengada-ada dan menunjukkan level keberanian dan kefasihan tersangka dalam melakukan kejahatan.

Sementara itu, Pengamat Hukum Pidana Farizal Pranata Bahri menyebut institusi Polri harus bekerja serius menyelesaikan kasus ini demi mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Mencoreng Institusi Polri

Kasus yang menjerat AKBP Fajar Widyadharma Lukman menjadi perhatian publik setidaknya dalam sepekan terakhir. Kasus kekerasan seksual ini diketahui setelah ada informasi yang disampaikan Kepolisian Australia pada Januari 2025.

Laporan dari Kepolisian Australia mengemuka menyusul adanya kemunculan video kekerasan seksual di situs porno negara itu yang ketika ditelusuri diunggah dari Kota Kupang.

Berawal dari laporan itulah, Polda Nusa Tenggara Timur melakukan serangkaian penyelidikan yang dimulai pada 23 Januari 2025, sesuai dengan surat yang dikirim Hubungan Internasional Polri. Hasilnya, diketahui pada peristiwa itu terjadi di salah satu hotel di Kota Kupang sekitar 11 Juni 2024.

Pengamat Hukum Pidana Farizal Pranata Bahri menuturkan, kejahatan yang dilakukan oleh AKBP Fajar merupakan kejahatan yang sangat keji, apalagi dilakukan kepada warga masyarakat yang paling harus dilindungi, yaitu anak-anak. Ia juga menganggap kasus ini turut mencoreng institusi Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

“Kejahatan seperti ini harus di hukum maksimalkan. Dampak yang ia lakukan sudah mencoreng institusi Polri yang kita ketahui saat ini sedang ditingkatkan kinerjanya oleh Pak Kapolri Jenderal Listyo,” kata Farizal saat dihubungi VOI.

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (27/2/2025). (ANTARA/Rio Feisal)

“Hukuman yang pantas didapat, selain penjara maksimal ada PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) dari institusi Polri serta perlu di lakukan pembinaan psikis dan mental kepada yang bersangkutan,” ia menambahkan.

Publik mendesak agar Fajar diberikan hukuman yang seberat-beratnya. Atas perkara ini, Fajar disebut akan dikenakan Pasal 6 huruf c dan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun masyarakat juga ingin agar Fajar dijerat pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena menyebarkan konten pornografi.

Dihubungi terpisah, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menegaskan Fakar layak dikenakan pasal berlapis atas kejahatan serius yang dilakukan. Kini, ia menantikan seberapa jauh ketegasan otoritas hukum menindak Fajar, yang disebut Reza sebagai pelaku kejahatan serius yang berbahaya.

Namun di sisi lain, Reza menyangsikan ketegasan otoritas hukum dalam menuntaskan kasus ini. Sebelum ini, menurut Reza, ada kasus terdahulu yang menunjukkan ketidakseriusan Indonesia dalam menangani kasus pidana seksual.

Kasus tersebut adalah grasi Presiden Joko Widodo kepada pelaku pencabulan seksual anak berkewarganegaraan Kanada pada tahun 2019. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, di Istana Jokowi menyebut kejahatan seksual anak (KSA) sebagai kejahatan luar biasa.

Ia pun membandingkannya dengan Presiden Hungaria Katalin Novak yang mengundurkan diri akibat tekanan publik setelah memberikan grasi kepada pelaku KSA.

Rekam Jejak Buruk di Kepolisian

Fajar hanya satu di antara sejumlah anggota polisi yang terjerat kasus hukum. Dalam beberapa bulan terakhir ini. Pada November lalu, misalnya seorang siswa SMK di Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy meninggal dunia.

Sebelumnya, pihak kepolisian menyebut Gamma sebagai pelaku tawuran dan anggota gangster. Namun hasil penyidikan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Tengah menyatakan penembakan itu tak berhubungan dengan tawuran.

Terkini, institusi polri disebut melakukan intimidasi terhadap duo band Sukatani yang mengeluarkan lagu “Bayar, Bayar, Bayar”. Duo band tersebut mengunggah video permintaan maaf dan menarik lagunya dari platform streaming, setelah diduga mendapat intimidasi dari kepolisian.

Kasus kekerasan berulang oleh anggota Polri haris dibenahi secara serius, karena banyaknya kasus-kasus yang menjerat anggota polisi kian mengikis kepercayaan publik.

“Hal ini berdampak kepada berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada kinerja penegakaan hukum. Terlebih tersangka merupakan pimpinan wilayah Polri di sebuah kabupaten atau pucuk pimpinan tertinggi yang seharusnya memberikan keteladanan yang baik,” Farizal menegaskan.

“Masyarakat akan berfikir kembali apabila terlibat masalah hukum dan kemudian mengadukan kepada polisi melihat rekam jejak saat ini yang masih saja buruk di penilaian masyarakat,” imbuhnya.

Untuk itu, kata Farizal, penting bagi Kapolri memberikan sanksi yang tegas terhadap anggotanya yang melanggar agar dapat di proses dan di kenakan pidana maksimum untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.