Bagikan:

JAKARTA – Tagar #KaburAjaDulu terus menjadi sorotan dalam beberapa bulan ke belakang. Kondisi di dalam negeri yang dipandang sebagian orang makin semrawut disebut melatarbelakangi viralnya tagar ini.

Dodi Romdani, Kades Sukamulya, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, memilih mundur dari jabatannya dan bekerja di Jepang.

Hal ini dibenarkan oleh Kabag Hukum Sekretariat Daerah Pemkab Ciamis Deden Nurhadana. Ia mengatakan, Dodi sudah mengajukan pengunduran diri pada 2024 dan kini sudah bekerja di Jepang.

Menurut Deden, tidak ada yang salah dengan keputusan Dodi meski ia sudah menjabat hampir enam tahun sebagai Kades Sukamulya. Dodi sebenarnya masih memiliki masa jabatan dua tahun lalu setelah ada masa perpanjangan jabatan menjadi delapan tahun.

Situasi Bandara I Gusti Ngurah Rai yang alami kenaikan penumpang Januari 2025 di Denpasar, Jumat (14/2/2025). (ANTARA/Ho-Bandara I Gusti Ngurah Rai)

Keputusan Dodi menanggalkan jabatannya untuk kemudian menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jepang dihubungkan dengan tagar #KaburAjaDulu. Dodi disebut-sebut ikut terbawa arus #KaburAjaDulu, meski menurut keterangan Deden ia sudah pergi ke Jepang sejak tahun lalu.

Cermin Kebingungan Publik 

Tren perbincangan #KaburAjaDulu ramai digunakan di X, dulunya Twitter. Menurut pantauan Drone Emprit, lembaga pemantau media sosial, tren ini mulai menggema sejak Januari 2025, dimulai dari akun @amourXexa.

Namun sumber lain mengatakan tagar ini mulai muncul di media sosial X sejak Desember 2024. Awalnya, kemunculan #KaburAjaDulu adalah sebagai ruang diskusi konstruktif. Para pengguna media sosial aktif berbagi tips mendapatkan pekerjaan di luar negeri, informasi beasiswa, perkiraan gaji, hingga wawasan mendalam tentang tantangan adaptasi budaya di negara tujuan.

Namun dinamika penggunaan tagar ini bergeser drastis belakangan ini. #KaburAjaDulu berubah menjadi manifestasi kekecewaan kolektif generasi muda terhadap kondisi dalam negeri.

Menurut pantauan Drone Emprit tagar ini adalah reaksi warganet atas isu-isu terkini yang terjadi di Indonesia. Mulai dari kondisi ekonomi, kualitas hidup menurun, dan rentetan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat, termasuk akses pendidikan yang sulit.

Dalam sepekan terakhir, masyarakat juga dibuat susah dengan kebijakan larangan penjualan gas elpiji 3 Kg oleh pengecer, dan dilanjut dengan efisiensi anggaran di berbagai kementerian/lembaga oleh Presiden Prabowo Subianto yang memantik polemik.

Dari hasil pengamatan tampak bahwa tagar ini didominasi oleh kelompok usia 19-29 tahun, yaitu mencapai 50,8 persen.

Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta, nasionalisme bukan soal di mana kita tinggal tapi bagaimana kita tetap memberi manfaat bagi negeri ini sekecil apapun. (Unsplash)

Ahli sosiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menuturkan, narasi berisi ajakan keluar negeri ini sebagai cerminan kebingungan publik atas kondisi terkini di Tanah Air.

Masalah sosial, politik, dan ekonomi yang mengemuka belakangan ini membuat warga bingung.

Arie mencontohkan kebijakan pemerintah mencabut pembatasan distribusi gas elpiji 3kg yang dilakukan secara mendadak, masalah kepastian hukum, seperti pada kasus pagar laut, juga masalah pemangkasan anggaran pemerintahan yang mencuat di publik.

"Ada perubahan-perubahan kebijakan di level negara yang membuat uncertainty," kata Arie.

Ia menilai pemerintah harus memandang serius permasalahan ini. Arie tak mempermasalahkan kelompok kelas menengah yang hendak keluar negeri, yang menurutnya memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup. Arie justru menitikberatkan nasib kelompok kelas ke bawah.

"Rakyat yang tidak sempat punya banyak pilihan, itu yang berisiko memiliki kerentanan kalau negara ini enggak berubah," kata Arie.

Nasionalisme Tak Selalu dari Dalam Negeri

Sementara itu, calon presiden Anies Baswedan memiliki pendapat sendiri soal tren #KaburAjaDulu yang viral belakangan ini.

Melalui postingan di media sosial X, Anies mengatakan, cinta Indonesia tidak sekadar bangga saat negara sedang baik-baik saja. Menurutnya, nasionalisme diuji ketika negara tengah menghadapi banyak tantangan, sedang butuh perubahan. Ia menganalogikan kondisi saat ini seperti inta bertepuk sebelah tangan.

"Tapi amat wajar jika terkadang kita merasa lelah. Perjuangan tanpa istirahat itu bisa terasa berat. Ini seperti bertepuk sebelah tangan, sudah berusaha untuk mencintai, tapi rasanya seperti tidak ada balasan. Maka tidak apa-apa ambil berhenti sejenak. Bukan berarti menyerah ya, justru dengan memberi nafas untuk diri sendiri, kita bisa kembali dengan energi yang lebih baik," tutur Anies.

Untuk mencintai Indonesia, Anies menambahkan, butuh kesabaran dan ketabahan seperti yang dilakukan para pendiri bangsa jauh sebelum kemerdekaan.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan saat wawancara doorstop di sela-sela acara talkshow Belfos 4.0 bertajuk "Kepemimpinan Revolusioner di Tengah Globalisasi", di Jakarta, Sabtu (11/1/2025). (ANTARA/Anita Permata Dewi)

Anies mencontohkan para pejuang pada 1908 dan 1928, yang sebagian dari mereka tidak sempat atau tidak pernah melihat Indonesia merdeka tapi mereka tetap bergerak maju meski dianggap pada masa itu mimpi tinggi, mimpi di siang bolong.

“Dan perjuangan mereka itu seperti maraton, dan estafet yang dijadikan satu. Bergantian tapi tetap melangkah ke depan," kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

Anies Baswedan juga menyampaikan, cinta Indonesia tidak ada hubungannya dengan lokasi tempat tinggal. Justru banyak tokoh bangsa yang dulu lama hidup di luar negeri tapi tetap berkontribusi buat Indonesia. 

"Jadi nasionalisme itu bukan soal di mana kita tinggal tapi bagaimana kita tetap memberi manfaat bagi negeri ini sekecil apapun," tegasnya, sambil mempersilakan anak muda yang berkesempatan ke luar negeri untuk meninggalkan Tanah Air namun tetap memberikan kontribusinya untuk Indonesia.

Brain Drain

Tren #KaburAjaDulu yang sedang viral di media sosial juga dikaitkan dengan fenomena brain drain, yaitu sebuah kondisi ketika talenta Indonesia memilih pindah ke negara lain, bahkan sampai berganti kewarganegaraan. Ini dilakukan demi meraih standar hidup, pendidikan, dan jenjang karier yang lebih baik di luar negeri.

Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), sebanyak 7,47 penduduk usia produktif masih menganggur per Agustus 2024.

Sementara itu, rata-rata gaji pekerja di Tanah Air hanya sekitar Rp3,27 juta, sebuah angka yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Dua fakta ini kian menegaskan bahwa negara belum mampu memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan yang memadai. Mereka yang memiliki keahlian dan kesempatan, pilihan menjadi pekerja migran di luar negeri terlihat lebih menjanjikan.

Jika tren #KaburAjaDulu terus berlanjut dan pemerintah tidak segera merespons dengan kebijakan konkret, Indonesia berpotensi kehilangan sumber daya manusia (SDM) unggul.

Hal ini bisa menimbulkan efek berantai, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor strategis, penurunan investasi, penurunan penerimaan pajak, kenaikan penarikan pajak, lapangan kerja semakin sedikit, sampai kesenjangan kualitas pendidikan yang semakin lebar dengan negara lain.