JAKARTA – Ratusan siswa di sejumlah daerah melakukan protes karena terancam gagal mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Kelalaian sekolah mengisi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) diduga menjadi penyebabnya.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisantek) mengungkap ada 373 sekolah yang terlambat mengisi PDSS untuk SNBP pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
"Terdapat 373 sekolah teridentifikasi masuk dalam kategori sekolah yang sudah melengkapi data isian siswa eligible, seperti melengkapi nilai siswa eligible dalam 5 semester, namun belum melakukan finalisasi," kata Ketua Umum Tim Penanggung Jawab Panitia SNPMB 2025 Eduart Wolok dalam keterangannya.
"Hal ini menyebabkan para siswa pada sekolah yang belum menyelesaikan finalisasi PDSS tersebut tidak dapat melakukan pendaftaran SNBP," tambahnya.

Kondisi ini membuat ratusan siswa dari berbagai sekolah terancam tidak bisa mengikuti SNBP. SMAN 4 Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, sebanyak 141 siswanya gagal mendaftar SNBP diduga karena kelalaian pihak sekolah. Orangtua murid kecewa dan menilai sekolah lalai karena belum merampungkan pengisian PDSS.
Lain cerita dengan 148 siswa SMAN 17 Makassar, Sulawesi Selatan, yang juga terancam gagal ikut SNBP. Hal ini terjadi lantaran pihak sekolah salah jam saat isi PDSS.
Wakil Kepala SMAN 17 Makassar Kartini Kurnia mengatakan, operator yang bertugas lalai terkait batas waktu pengisian data siswa ke PDSS. Operator mengira batas akhir input data adalah tanggal 31 Januari pukul 24.00 Wita, namun ternyata hanya sampai pukul 15.00 Wita.
Melanggar Hak Anak
Sebagai informasi, SNBP merupakan salah satu jalur masuk PTN dalam Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025. Penentu kelulusan SNBP berdasarkan nilai rapor, portofolio, dan prestasi siswa, baik secara akademik maupun nonakademik yang dilaporkan melalui PDSS. Dengan kata lain, murid memiliki peluang masuk perguruan tinggi tanpa melalui tes.
Selain menjadi basis data, PDSS juga menjadi syarat pendaftaran bagi sekolah untuk mendaftarkan siswa ke perguruan tinggi dan menjadi bahan pertimbangan atau penilaian dalam SNBP 2025. Sementara itu, SNPMB 2025 membuka tiga jalur, yaitu SNBP, Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), dan Seleksi Mandiri.
Kegagalan siswa masuk PTN lewat jalur SNBP menuai polemik. Di satu sisi, banyak masyarakat yang menyayangkan peristiwa ini, apalagi penyebabnya diduga akibat kelalaian pihak sekolah. Kerja keras siswa selama lima semester sebelum mengikuti jalur SNBP tampak sia-sia.

Tapi di sisi lain, tak sedikit pula yang menyebut jalur SNBP ini ‘kurang berkualitas’ sementara Jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dianggap lebih fair.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menuturkan, akar persoalan ini terletak pada kelalaian banyak pihak. Mulai dari pihak sekolah yang tidak melakukan update, dinas pendidikan yang tidak cakap mengawasi, pengawas sekolah tidak perhatian, dan pemerintah di level kementerian seolah tidak berkoordinasi dengan baik.
Kelalaian kolektif ini, kata Ubaid, akhirnya mengorbankan siswa yang tidak tahu-menahu.
Ubaid mengatakan, kelalaian ini seharusnya tidak boleh terulang dari tahun ke tahun. Peserta didik adalah penerima manfaat dari jalur SNBP. Maka sebagai penerima manfaat, tak seharusnya kegagalan akibat kelalaian pihak ketiga membuat mereka yang berhak, jadi dikorbankan.
BACA JUGA:
“Jadi pangkalan data yang online atau SNBP adalah alat untuk mencapai tujuan, yaitu akses pendidikan tinggi yang lebih luas dan inklusif. Kalau sistemnya tidak sampai ke tujuan itu, maka perlu dievaluasi,” kata Ubaid.
Ubaid menuturkan, pihak-pihak yang lalai sudah melanggar hak anak dalam mengenyam pendidikan. Sebab kesemrawutan ini bukan kesalahan peserta didik, melainkan kesalahan sekolah dan para pemangku kebijakan.
Diskriminatif terhadap Sekolah Lapis Bawah
Sementara itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyoroti penerimaan mahasiswa melalui jalur SNBP atau yang juga dikenal dengan jalur undangan. Darmaningtyas mengatakan, sebenarnya sudah sejak lama ia mengkritisi jalur undangan karena menurutnya diskriminatif terhadap sekolah-sekolah baru maupun sekolah-sekolah pinggiran.
“Jalur undangan seharusnya kuotanya diperkecil, maksimal 20 persen saja,” kata Darmaningtyas.
Untuk saat ini, kata Darmaningtyas komposisi jalur undangan adalah sebagai berikut: 40 persen untuk sekolah akreditasi A, 20 persen untuk sekolah akreditasi B, dan 5 persen untuk sekolah akreditasi C.
“Lalu bagaimana dengan sekolah yang baru berdiri? Padahal mungkin juga melahirkan orang-orang hebat. Karena itu, sejak program jalur undangan ini diterapkan 12 tahun lalu, saya sudah mengritisi sebaiknya kuotanya dibatasi,” ucap Darmaningtyas.
Hal lain yang menjadi sorotan Darmaningtyas terkait jalur undangan adalah soal nilai rapor yang menjadi dasar penilaian. Padahal menurutnya, nilai rapor bagus belum tentu mencerminkan realitasnya.

“Jadi kalau memang pintar, seharusnya pede akan lolos jalur tes,” katanya.
Terlepas dari itu, Darmaningtyas tidak menampik adanya persoalan dalam pendaftaran siswa melalui jalur SNBP, mengingat ini sudah dijalankan rutin selama bertahun-tahun.
“Yang salah sekarang adalah persoalan perubahan sistem, sebelumnya kan satu kementerian, sekarang kementerian dipecah dan harmonisasi sistem itu tidak mudah,” Darmaningtyas menjelaskan.
“Ini sebuah persoalan, iya. Tapi pandangan saya jalur ini sebaiknya tidak dipertahankan karena memang diskriminatif terhadap sekolah-sekolah lapis bawah, termasuk sekolah yang baru berdiri,” pungkasnya.