Bagikan:

JAKARTA –Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) adalah salah satu kementerian yang terkena efisiensi anggaran. Dengan pemangkasan sekitar Rp14,3 triliun, diprediksi bakal mengatrol biaya kuliah mahasiswa.

Kemendiksaintek melakukan efisiensi hingga 25 persen dari total pagu Tahun Anggaran 2025 yang sebesar Rp56,6 triliun tersebut. Artinya, ada pemangkasan anggaran sebesar Rp14,3 triliun yang harus dilakukan kementerian yang dipimpin Satryo Soemantri Brodjonegoro ini.

Sejumlah anggaran beasiswa yang dikelola Kemendiktisaintek berpotensi dikurangi menyusul adanya efisiensi anggaran pemerintah.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro memaparkan beberapa anggaran beasiswa yang dipangkas. Di antaranya adalah beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (Adik), beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (KNB), serta beasiswa dosen dan tenaga kependidikan.

Meski begitu, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR beberapa waktu lalu, Satryo  mengusulkan agar Kementerian Keuangan tidak menyentuh dana beasiswa, karena dana ini masuk dalam anggaran bansos.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro. (ANTARA/HO-Kemdiktisaintek RI)

Sehingga, untuk komponen ini, gaji, tunjangan, beasiswa, itu pagu yang kami usulkan yaitu sebesar Rp31,645 triliun,” papar Satryo.

Satryo juga menjelaskan bahwa selain beasiswa, ia mengusulkan tak ada pengurangan pada anggaran gaji dan tunjangan pegawai serta tunjangan dosen non-pegawai negeri sipil (PNS).

Kontras dengan Asta Cita

Menanggapi kebijakan efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek, pengamat pendidikan Doni Kusuma menegaskan, pos-pos anggaran yang wajib seperti Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) seharusnya tidak terdampak efisiensi.

Jika efisiensi anggaran berdampak pada akses pendidikan tinggi, maka kebijakan tersebut bisa dikatakan salah sasaran.

“Bila pengurangan anggaran berakibat makin sulitnya akses ke pendidikan tinggi, ini bertentangan dengan Asta Cita Presiden Prabowo sendiri, terutama Asta Cita nomor empat,” kata Doni, mengutip Kompas.

Asta Cita adalah delapan misi yang diusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mewujudkan visi yaitu Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045.

Kedelapan misi disusun dalam rangka memajukan Indonesia dari segala sisi. Mulai pengokohan ideologi, pertahanan, pangan, hingga toleransi antar umat beragama.

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga membentangkan spanduk sebagai bentuk protes kenaikan uang kuliah tunggal. (Ist)

Untuk Asta Cita keempat yang digagas Prabowo memiliki tujuan untuk memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.  

Pengamat pendidikan Darmaningtyas juga menyebut efisiensi anggaran Kemendiktisaintek dapat berdampak pada beberapa hal. Mulai dari kemungkinan beasiswa KIP Kuliah tertunda atau tidak bisa terbayarkan, begitu pula dengan beasiswa LPDP yang mungkin tertunda.

Tuntutan para dosen ASN untuk tunjangan kinerja juga bisa tidak terpenuhi tahun ini.  Selain itu ada juga potensi meniadakan bantuan untuk perguruan tinggi swasta (PTS).

“Padahal PTS ini penting karena 50 persen mahasiswa ada di PTS. Pemerintah perlu tetap memberikan bantuan ke PTS,” kata Darmaningtyas kepada VOI.

Antisipasi Kenaikan UKT

Darmaningtyas tidak menutup kemungkian akan adanya kenaikan UKT akibat efisiensi anggaran Kemendiktisaintek. Soal kemungkinan kenaikan UKT juga sempat disinggung Mendiktisaintek Satryo. Namun menurut Darmaningtyas, semua ini akan tergantung pada negosiasi antara menteri yang bersangkutan dan presiden.

Kenaikan UKT merupakan sesuatu yang sangat dikhawatirkan dari adanya efisiensi anggaran ini, meski Menkeu Sri Mulyani memastikan tidak terjadi hal demikian. 

Menjadi hal yang menakutkan lantaran biaya UKT di Indonesia tengah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir karena angkanya yang selalu merangkak naik sehingga dianggap makin menyulitkan akses ke pendidikan tinggi.

Tahun lalu, sejumlah kampus didemo mahasiswanya sendiri karena biaya UKT yang tinggi. Institut Teknologi Bandung (ITB) bahkan pernah banjir kritik lantaran menawarkan pinjaman online atau pinjol untuk pembiayaan UKT yang mahal. 

“Mestinya yang diefisiensi memang yang kurang esensial seperti kajian, seminar, dan lain sebagainya. Untuk hal pokok, seperti membuka akses pendidikan tinggi seluas-luasnya, ya mestinya tidak dikurangi,” tegas Darmaningtyas.

“Tergantung bagaimana menteri meyakinkan presiden. Kalau hal yang dipokok dikurangi, maka target menelurkan manusia unggul pada Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai,” sambungnya.

Narasi yang Tidak Sinkron

Sementara itu, Ketua Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) Anggun Gunawan menyebut, pemangkasan beasiswa pendidikan tinggi seperti BPI dan KIP-K justru menunjukkan ketidakjelasan pemerintahan Prabowo dalam membangun tenaga pendidik di Indonesia.

Ini berbanding terbalik dengan mimpi rezim Prabowo yang ingin menghasilkan SDM unggul lewat pembangunan SMA Garuda. Sebagai informasi, anggaran pembangunan sekolah unggulan SMA Garuda juga tak luput dari efisiensi oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Dengan pemangkasan anggaran yang direncanakan sebesar 60 persen atau sebesar Rp1,2 triliun, dari pagu sebelumnya sebesar Rp2 triliun.

“Mimpi rezim Prabowo menghasilkan SDM unggulan lewat SMA Garuda, yang nantinya akan dijadikan dosen lewat kuliah di kampus-kampus terbaik dunia,” kata Gunawan.

“Tapi dosen yang sudah mengabdi dan studi lanjut malah (berpotensi) ditelantarkan. Ada ketidaksinkronan narasi,” imbuh Gunawan.

Presiden Prabowo Subianto disertai Mendikdasmen, Abdul Mu'ti memberikan penghargaan kepada guru dalam peringatan Hari Guru Nasional 2024 did Velodrom Rawamangn, Jakarta (28/11). (ANTARA)

Efisiensi dana BPI, lanjut Gunawan, berpotensi membuat para penerimanya, yang hanya mengandalkan dana beasiswa sebagai biaya hidup, terkatung-katung di perantauan. Kuota penerima BPI untuk tahun-tahun mendatang juga berpotensi disunat atau bahkan ditiadakan karena anggarannya kurang.

Alih-alih memotong anggaran beasiswa, akan lebih baik jika efisiensi dilakukan pada anggaran yang berbau seremonial, perjalanan dinas, studi banding, hingga fullboard alias paket kegiatan rapat yang diselenggarakan di luar universitas dalam waktu sehari penuh dan menginap.

“Anggaran yang masuk dalam BOPTN dan BPPTNBH ini cukup besar, namun tidak diserap dengan maksimal dan sering digunakan untuk kegiatan yang kurang penting,” pungkasnya.