Bagikan:

JAKARTA - Tidak semua keluarga korban tewas pandemi COVID-19 di China, bisa menyambangi makam almarhum. Di Wuhan --pusat penyebaran virus corona-- keluarga bahkan sama sekali tak diperkenankan melayat. Yang lebih miris, diduga masih ada ribuan jenazah yang belum jelas rimbanya. Pertanyaannya, apakah benar pemerintah China "menghilangkan" jumlah korban meninggal dari yang sebenarnya?

Di China, tradisi "ziarah kubur" atau mengunjungi kuburan sanak saudara atau leluhur mereka pada hari ke-15 musim semi ekuinoks, sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Saat ritual, mereka biasaya membersihkan rumput-rumput atau kotoran yang ada, seraya menawarkan makanan, minuman anggur, dan uang kertas, sehingga para pendahulu mereka bisa menikmati kehidupan setelah kematian. 

Momen mengunjungi kuburan atau yang mereka sebut "ritual menyapu makam" tahun ini nampaknya akan lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya, meskipun banyak kasus kematian akibat pandemi virus corona yang baru saja terjadi. Pasalnya, seperti diwartakan The Washington Post, ribuan jenazah, terutama yang berasal dari wilayah pusat penyebaran wabah, Wuhan, belum dapat dikuburkan.

Belum lagi ada larangan berkumpul dari otoritas khawatir wabah virus corona masih menyebar. Yang lebih miris lagi, masih ada keluarga yang mengaku, belum mendapat kabar di mana jasad keluarganya yang tewas karena COVID-19 berada.

Ilustrasi foto (Chen Feng/Unsplash)

"Tidak seorang pun di keluarga itu yang dapat mengucapkan selamat tinggal kepada kakek mereka bahkan melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya," kata Gao Yingwei, seorang pekerja IT di Wuhan yang kakeknya, Gao Shixu, meninggal karena COVID-19 pada 7 Februari.

Almarhum yang meninggal pada usia 76 tahun itu meninggal di rumah. Para petugas pemakaman datang untuk mengevakuasi jenazah dengan berpakaian hazmat lengkap, sambil memberi tahu bahwa jasad itu akan segera dikremasi.

"Sampai hari ini, kami tidak tahu bagaimana jasadnya ditangani, di mana abunya berada, atau kapan kami bisa mengambilnya," kata Gao. "Aku bahkan tidak tahu dari rumah duka mana orang-orang itu berasal."

Rasa cemas itu bertambah ketika ritual menyapu makam pun sangat dibatasi mengingat diwajibkan melakukan social distancing atau physical distancing, sehingga orang-orang dilarang berkerumun oleh otoritas negara. 

Di Wuhan, Pemerintah Kota sudah sama sekali melarang kegiatan "menyapu kuburan" setidaknya sampai Mei. Ritual itu masih bisa dilakukan di Beijing dan Shanghai, namun dengan jumlah pengunjung yang sangat dibatasi, dan harus menunggu antrean pendaftaran terlebih dahulu. 

Korban tewas diduga 15 kali lebih banyak

Pandemi virus corona secara resmi tercatat telah merenggut 2.563 nyawa di Wuhan. Namun ada bukti baru yang muncul ketika Wuhan mulai bangkit, yang merujuk pada jumlah korban jiwa sebenarnya secara eksponensial lebih tinggi. Hal itu terlihat dari banyaknya pengumpulan jenazah. Menurut catatan majalah Caixin, Krematorium Hankou telah beroperasi 19 jam sehari. Menurut catatan itu, hanya dalam dua hari, rumah pemakaman bisa memproses lima ribu guci abu kremasi. 

Di Wuhan sendiri, tercatat rumah pemakaman di sana telah memproses 3.500 guci per hari sejak 23 Maret. Jumlah itu menyiratkan jumlah korban jiwa di Wuhan bisa mencapai sekitar 42 ribu atau 15 kali dari jumlah resmi yang diumumkan. 

Penduduk Wuhan mengatakan, kegiatan di rumah pemakaman itu mungkin bisa saja mengingkari jumlah statistik resmi pemerintah. "Karena insinerator --tempat pembakaran mayat-- bekerja sepanjang waktu, bagaimana bisa begitu sedikit orang yang mati?" kata seorang pria yang diketahui hanya nama belakangnya Zhang, kepada Radio Free Asia.

Dugaan itu sebelumnya sudah dilontarkan oleh Badan Intelijen Amerika (CIA). Mereka menyimpulkan bahwa jumlah kematian akibat COVID-19 di China jauh lebih rendah daripada kenyataannya. 

Namun, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying bilang pada Kamis kemarin bahwa China telah terbuka dan transparan tentang wabah virus corona. Menlu China malah menuding balik pejabat AS membuat pernyataan tak tahu malu karena telah meragukan hasil penghitungan Beijing.