JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat untuk menghadapi penyebaran COVID-19 di Indonesia ketimbang mengambil kebijakan karantina wilayah. Kebijakan ini, menurut Jokowi sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sejumlah kalangan menganggap kebijakan tersebut tak akan memberi dampak penurunan angka penyebaran virus corona di Indonesia. Peneliti kebijakan publik dari Universitas Indonesia Defny Holidin menilai sebenarnya tak ada yang berbeda antara PSBB dengan imbauan physical distancing yang sebelumnya dibuat oleh pemerintah.
"Jadi sebelum penetapan PSBB kita semua sudah menerapkan (anjuran pembatasan sosial) atas inisiatif sendiri khususnya yang dikoordinasi oleh pemerintah daerah," kata Defny kepada VOI lewat pesan singkat, Selasa, 31 Maret.
Daripada kebijakan PSBB, Defny menilai, kebijakan karantina wilayah sebenarnya lebih efektif untuk memutus penyebaran COVID-19. Sebab, karantina wilayah dianggap lebih mampu meratakan kurva atau mengurangi kecuraman naiknya jumlah penularan virus corona.
"Menilik pengalaman di negara lain, saya melihat PSBB ini cuma memfasilitasi slowdown atau pelambatan penularan virus antar manusia," jelasnya.
Apalagi, kebijakan PSBB ini harus menggunakan kebijakan mitigasi lainnya sebagai pendukung undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Sehingga butuh waktu lama bagi masyarakat melakukan anjuran karantina mandiri untuk memutus penyebaran COVID-19 di suatu wilayah.
Dia kemudian menjelaskan pada kami soal pembeda antara kebijakan PSBB yang diambil pemerintah dengan kebijakan karantina wilayah. PSBB, kata Defny lebih bersifat sebagai kebijakan persuasif. Selain itu, dengan dipilihnya kebijakan PSBB maka pemerintah tak diwajibkan memberikan kompensasi pada masyarakat atas dampak ekonomi dan sosial akibat diterapkannya kebijakan tersebut.
"Sementara by regulation, karantina wilayah alias lockdown membebankan pemerintah untuk merealokasikan anggaran untuk dampak sosial-ekonomi," jelasnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga menilai kebijakan PSBB ini tak akan memberi pengaruh besar bagi pengurangan angka penyebaran COVID-19 di Indonesia.
"Dampaknya masih diragukan. Karena masyarakat kan tetap bisa bermobilitas. Jadi ini lebih cenderung PSBB ini sama saja dengan pysichal distancing," ungkap Trubus sambil menjelaskan, kebijakan PSBB hanya membatasi kegiatan dari manusia dan hal ini berbeda dengan kebijakan karantina wilayah yang menutup akses masuk ke wilayah tertentu.
BACA JUGA:
Soal perbedaan antara karantina wilayah dan PSBB juga diterangkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Melalui rilisnya, mereka menjelaskan perbandingan antara karantina wilayah dengan PSBB berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Perbandingan ini dibedakan dari lima aspek, yaitu aspek kegiatan, tempat, pelibatan aparat keamanan, tanggung jawab pemerintah pusat, dan aktor.
1. Kegiatan
Berdasarkan Pasal 54 Ayat 3 UU Nomor 6 Tahun 2018 jika karantina wilayah diterapkan maka kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah melarang anggota masyarakat yang dikarantina keluar masuk wilayah.
Sedangkan dalam Pasal 5 Pasal 59 Ayat 3 UU Nomor 6 Tahun 2018 yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) negara akan memberlakukan kegiatan peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
2. Tempat
Berdasarkan Pasal 54 Ayat 2 UU Nomor 6 Tahun 2018 disebutkan tempat untuk karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat.
Sedangkan untuk PSBB dalam Pasal 59 Ayat 2 UU Nomor 6 Tahun 2018 tidak dijelaskan secara spesifik tempat penetapannya.
3. Pelibatan aparat keamanan
Ketika karantina wilayah dilakukan maka sesuai dengan Pasal 54 Ayat 2 UU Nomor 6 Tahun 2018 disebutkan Polri menjaga tempat karantina wilayah berlangsung. Sedangkan dalam PSBB, aspek pelibatan aparat keamanan tidak dibahas.
4. Tanggung jawab pemerintah pusat
Dalam penerapan karantina wilayah, berdasarkan Pasal 55 Ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2018 disebutkan bahwa kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara dalam PSBB tidak dijelaskan tanggung jawab pemerintah pusat.
5. Aktor
Pasal 55 Ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2018 mengatur aktor untuk karantina wilayah adalah pemerintah pusat dan melibatkan daerah dan pihak terkait. Sedangkan untuk PSBB, Pasal 59 Ayat 4 UU Nomor 6 Tahun 2018 tidak dijelaskan secara spesifik.
Meski dianggap belum efektif memerangi penyebaran COVID-19, namun pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai kebijakan ini sudah menampung masukan dari publik yang meminta karantina wilayah untuk memutus penyebaran virus tersebut dan membuat daerah leluasa melakukan pergerakan.
"Yang bersuara soal karantina, bersuara soal lockdown sudah tertampung di situ semua. Pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk bergerak di dalam kebijakan itu tetapi tetap dengan ritme kekompakan dengan pemerintah pusat. ... Yang mau karantina sudah ada jalannya dengan karantina cara undang-undang Indonesia yaitu PSBB," ungkap Mahfud dalam keterangan videonya yang dirilis pada Selasa, 31 Maret.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai, PSBB juga sudah menyelesaikan persoalan terkait penyebaran COVID-19 karena sudah ada pembatasan-pembatasan di dalamnya.
"Itu sudah mencakup semua ide untuk menyelesaikan berbagai persoalan, membatasi gerakan orang dan barang dari suatu tempat ke tempat lain menggunakan mekanisme itu."