Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona (SARS-Cov-2) atau yang dikenal sebagai COVID-19 jelas telah membuat khawatir penduduk bumi. Banyak negara dunia yang melarang warganya untuk tidak beraktivitas di luar rumah, guna mengurangi jumlah penularan virus penyakit ini. 

Seiring berjalannya kebijakan tersebut, secara tidak terduga memberikan dampak yang siqnifikan dalam pengurangan polusi udara di Bumi. Secara nyata Planet Bumi kembali bernapas dengan berkurangnya aktivitas manusia dalam beberapa pekan terakhir. 

Pandemi corona secara tidak langsung mengubah cara pandang dan pembicaran khalayak banyak seputar perubahan iklim dalam sekala besar. Kendati di sisi lain, corona memang memberikan efek buruk bagi perekonomian secara global.

“Di tengah pandemi global yang bergerak cepat ini, wajar jika kita juga memikirkan ancaman besar lainnya. Namun perubahan iklim secara global seakan membantu kita bersiap untuk hari esok," ungkap Ilmuwan Iklim dan pendiri Institut Pasifik di Berkeley, California, Peter Gleick.

Penurunan tingkat polusi di China (citra satelit Sentinel-5P satellite data processed by Descartes Labs)

Berdasarkan pengamatannya selama dua bulan terakhir, baik China dan Italia telah memperlihatkan penurunan aktivitas manusia yang kerap menyebabkan polusi. Pabrik industri dan tansportasi massal untuk sementara waktu berhenti beroperasi karena dianggap sebagai media penularan COVID-19.

Hal ini menyebabkan kondisi alam dari planet yang kita tinggali ini bisa 'bernapas' kembali. Bagaimana kualitas air di kanal Venesia terlihat kembali jernih, tanpa adanya lalu lintas kapal yang berlalu-lalang. 

Ungkapan bagaimana Planet Bumi bernapas, bisa dilihat dari proyek ilmiah dari pasangan ilmuwan data data asal Belanda, Nadieh Bremer dan Shirley Wu, pada tahun 2017. Keduanya berhasil menyulap data pada skala waktu tertentu dalam visualiasi digital, berdasarkan proyeksi satelit milik Amerika Serikat (AS) yang mengukur tingkat kesehatan vegetatif di bumi.

Hasilnya terbilang mengejutkan, bagaimana peta digital ini memperlihatkan tingkat kehijauan di bumi selama empat musim terakhir. Animasi visiual yang diberi nama 'Breathing Earth' ini memberi kesan bagaimana bumi tengah bernapas.

Keadaan semacam ini mungkin sebuah proyeksi tersendiri dari bumi, yang kembali bernapas di saat pandemi COVID-19. Citra satelit dari sejumlah negara juga menunjukkan hal serupa, bagaimana tingkat polusi di bumi menurun cukup drastis.

Bisa saja di kemudian hari, udara bersih ini mampu menyelamatkan lebih dari 73.000 nyawa yang tinggal di bumi saat ini. Angka itu tentu akan melewati jumlah kematian yang diakibatkan oleh virus corona. 

"Mengingat sejumlah besar bukti menyebutkan bahwa menghirup udara kotor berkontribusi besar terhadap kematian dini, pertanyaan alami pun muncul--yang mesti diakui memang aneh-- apakah nyawa yang diselamatkan dari pengurangan polusi ini disebabkan oleh gangguan dari COVID-19 itu sendiri," ungkap ekonom sumber daya lingkungan dari Stanford University, Marshall Burke.

Sebetulnya, itu bukanlah hal yang benar-benar mengejutkan, karena berdasarkan penelitian yang telah lama diketahui sebelumnya, polusi udara mampu menurunkan harapan hidup global dan memangkas tiga tahun peluang hidup manusia.

Hal inilah yang kerap diungkapkan para peneliti iklim, akan ancaman dari 'Global Warming'. Bahkan ada pandangan skeptis bagaimana pandemi ini secara tidak sengaja menawarkan solusi dalam menangani krisis perubahan iklim. 

"Pandemi itu cepat dan menyoroti kemampuan kita atau ketidakmampuan kita untuk merespons ancaman yang mendesak. Tapi seperti pandemi, perubahan iklim dapat direncanakan terlebih dahulu, jika politisi memperhatikan peringatan ilmuwan yang membunyikan alarm," lanjutnya.

Melansir laporan dari Science Alert, memperlihatkan citra satelit Copernicus Sentinel-5P akan penurunan besar dari polusi udara secara khusus nitrogen dioksida, gas buangan yang berasal dari aktivitas industri dan transportasi. Hal ini terjadi seiring dengan pengurangan aktivitas manusia di luar rumah. 

"Meskipun mungkin ada sedikit variasi dalam data karena tutupan awan dan perubahan cuaca, kami sangat yakin bahwa pengurangan emisi yang dapat kita lihat, bertepatan dengan Isolasi di Italia yang menyebabkan lebih sedikit lalu lintas dan kegiatan industri," kata Claus Zehner, manajer misi ESA Copernicus Sentinel-5P.

Untuk saat ini, memang belum ada studi langsung terkait perubahan iklim yang terjadi akibat COVID-19. Bagaimanapun, juga secara ideal tentu tak ada yang ingin meninggal karena virus corona maupun polusi udara, lantaran keduanya sama-sama merugikan.