Bagikan:

JAKARTA – Fenomena embun es yang menyelimuti kawasan Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menjadi perbincangan khalayak. Mengapa suhu menjadi begitu dingin padahal musim panas di depan mata?

Masyarakat setempat menyebut fenomena ini sebagai embun upas. Dikutip Kompas, embun upas atau embun es adalah butiran es yang muncul di permukaan benda seperti rumput di daerah dingin. Namun embun es ini berbeda dengan salju yang ada di negara empat musim.

Embun beku merupakan fenomena munculnya butiran es di permukaan, tidak seperti salju yang terbentuk sebagai partikel presipitasi di atmosfer.

Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Ahmad Yani Semarang, Giyarto, mengatakan embun upas merupakan fenomena harian yang lazim terjadi di musim kemarau di Dieng.

Suhu dingin di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan munculnya embun es atau embun upas. (X/@merapi_undercover)

Munculnya embun es menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, khususnya mereka yang memiliki hobi mendaki gunung dan ingin berwisata menyaksikan embun upas secara langsung. Giyarto mengimbau para wisatawan untuk mengenakan pakaian sesuai kondisi setempat.

“Seperti jaket tebal atau mantel, sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan selama berwisata,” ujarnya.

Suhu udara di kawasan Dieng bahkan dapat berada di bawah 0 derajat celcius pada waktu tertentu.

Fenomena Tahunan

Fenomena udara dingin, terutama di malam hari, ternyata tidak hanya terjadi di kawasan Dieng. Sejumlah daerah di Indonesia juga mengalami hal serupa.

Di Yogyakarta misalnya, suhunya bisa mencapai 17 derajat celcius. Begitu juga kawasan Surabaya hingga Bali yang bisanya panas, belakangan ini menjadi lebih sejuk. BMKG Negara, Bali, mencatat wilayahnya mencapai suhu 21,4 derajat celcius belakangan ini.

Suhu udara yang turun drastis pada malam sampai dini hari disebut dengan fenomena bediding, demikian penjelasan Ketua Tim Kerja Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG Ida Pramuwardani.

Istilah bediding sendiri berasal dari kata serapan Bahasa Jawa “bedhidhing” yang artinya perubahan suhu mencolok, terutama di awal musim kemarau. Perubahan suhu tersebut bahkan bisa mencapai titik beku.

Namun, Ida menjelaskan fenomena bediding sebenarnya hal biasa terjadi di Indonesia dan puncaknya terjadi di musim kemarau, terutama pada Juli sampai September.

Musim bediding terjadi karena pada bulan-bulan tersebut posisi matahari berada pada posisi terjauh di sebelah utara garis khatulistiwa sehingga menyebabkan belahan bumi sebelah utara menjadi panas dan belahan bumi selatan jadi dingin.

Pulau Jawa, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara yang terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa menyebabkan wilayah ini menjadi lebih dingin dari biasanya. Selain itu, angin musim dingin dari Australia juga ikut berperan membuat Pulau Jawa menjadi lebih dingin.

Ida Pramuwardani menjelaskan ada empat faktor yang menyebabkan fenomena bediding, yaitu udara kering, langit cerah, dan topografi.

Mengutip BMKG, udara kering musim kemarau ditandai kurangnya curah hujan, sehingga udara menjadi lebih kering. Karena hujan jarang terjadi, langit menjadi cerah.

Minimnya awan pada musim kemarau menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa hambatan dan mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan. Dengan curah hujan yang kurang, maka kelembapan udara menjadi rendah sehingga uap air di dekat permukaan bumi juga sedikit.

"Pada musim kemarau, udara cenderung lebih kering karena kurangnya uap air. Udara kering memiliki kapasitas panas yang lebih rendah sehingga lebih cepat kehilangan panas pada malam hari," Ida menerangkan.

Selain itu, fenomena bediding juga disebabkan ketiadaan angin yang menghambat percampuran udara, sehingga dingin terperangkap di dekat permukaan bumi.

Pada daerah dataran tinggi atau pegunungan cenderung mengalami suhu yang lebih rendah karena tekanan udara dan kelembapan yang sedikit.

Wabah Penyakit Ternak

Suhu udara masa musim bediding bisa membuat badan kedinginan, terutama di dataran tinggi seperti Dieng. Embus upas yang terjadi di darataran tinggi Dieng sering disebut racun karena efek dari embun es tersebut bisa membuat tanaman kentang petani di kawasan tersebut mati.

Fenomena bediding juga dinilai memiliki dampak pada hewan peliharaan dan ternak. Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, Prof. Kamiso NH mengatakan wabah penyakit pada perikanan sering timbul karena kaitannya dengan musim.

Pada musim kemarau, sekitar Juli sampai September, sering muncul berbagai penyakit bersifat endemik dan oportunistik. Contohnya Aeromonas hydrophila (MAS), Pseudomonas sp. (BHS), Mycobacterium sp (Mycobacteriosis), dan Ichthyophthirius multifiliis (Ich).

Menurut kalender pertanian atau pranata mangsa, musim bediding adalah waktu yang tepat menanam palawija. (Unsplash/Jesser Gardner)

Hal ini disebabkan keterbatasan persediaan air sehingga kualitas air menurun, bersamaan dengan suhu air yang menjadi rendah. Penurunan suhu udara akan menurunkan suhu air sehingga ikan menjadi stres, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun.

Perubahan suhu kolam lele yang drastis antara siang dan malam hari selama periode bediding akan menyebabkan penyakit whitespot yang dapat mengakibatkan kematian pada lele. Selain itu, lele mudah terserang banyak penyakit ketika suhu kolam kurang dari 25 derajat celcius.

Namun menurut sistem penanggalan atau kalender pertanian yang dikenal dengan sebutan pranata mangsa, musim bediding terjadi pada periode Mareng-Terang, yaitu selama 41 pada 12 Mei sampai 21 Juni dinilai menjadi saat yang tepat menanam palawija, nila, kapas, kedelai, serta menggarap tegalan untuk menanam jagung.