Bagikan:

JAKARTA - Penyebaran virus corona atau COVID-19 jadi pusat perhatian dunia, tak terkecuali Indonesia yang menetapkan masa darurat sampai 29 Mei. Sejumlah kendala penanganan pasien COVID-19 di Indonesia pun terjadi di masa status darurat corona ini.

Di antaranya, beberapa hari lalu di media sosial, beredar video tentang seorang pasien dalam pengawasan COVID-19 yang mendapatkan penolakan rumah sakit. Rumah sakit itu memintanya pergi ke rumah sakit yang lebih besar untuk mendapat perawatan.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto mengatakan, dalam insiden tersebut, pihak rumah sakit tak melakukan penolakan, tapi karena tak memiliki kemampuan menangani COVID-19, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit besar.

Namun, dia mengatakan, cara komunikasi rumah sakit yang salah. Harusnya, pasien tersebut diberikan surat pengantar dan ditentukan rumah sakit yang dapat merawatanya.

"Yang terjadi bukan menolak. Itu Rumah Sakit merasa tidak punya kapasitas merawat. Dia harus merujuk. Cara rujuknya saja (salah) yang (seharusnya) kemudian dikasih surat pengantar, ditentukan dirujuk di mana. Bukan kemudian dilepas gitu aja," ucap Yuri, Rabu, 18 Maret.

Yuri mengatakan, rumah sakit tersebut diberi sanksi karena melakukan kesalahan prosedur. Katanya, sanksi itu diberikan oleh perhimpunan rumah sakit. "Sudah ditangani oleh perhimpunan rumah sakit," kata Yuri.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto (Angga Nugraha/VOI)

Masalah lainnya, beberapa rumah sakit rujukan penanganan COVID-19 tidak melaporkan secara berkala kasus kematian akibat virus tersebut kepada pemerintah pusat. Ini membuat kesalahan data pasien dan korban kematian beberapa waktu lalu. 

Data kematian di seluruh Indonesia akibat COVID-19, sebanyak 7 orang per Selasa, 17 Maret. Namun jumlahnya melonjak menjadi 19 orang pada Rabu, 18 Maret.

Angka itu didapat usai Kementerian Kesehatan mengonfirmasi ulang data kematian kepada seluruh rumah sakit yang menangani COVID-19. Hingga akhirnya, terungkap, sejumlah rumah sakit tidak melaporkan kasus kematian sejak tanggal 12 Maret sampai 17 Maret.

"Kami laporkan kasus meninggal, terdapat masalah dalam pendataan karena setelah kami melakukan recheck tadi pagi dan kemudian kami koordinasi dengan seluruh rumah sakit yang merawat kasus ini, ternyata beberapa rumah sakit belum melaporkan kasus kematian sejak tanggal 12 Maret sampai tanggal 17," ucap Yuri sambil menambahkan jumlah lonjakan pasien akan bertambah dalam beberapa waktu ke depan.

"Kita berharap pada setelah dilaksanakan kegiatan bersama masyarakat diharapkan pada bulan April kita sudah mulai bisa melihat hasilnya dan kita berharap bahwa ini akan sudah mulai terkendali," kata Yuri.

Ada kabar negatif, ada juga kabar positif. Kemarin, Rabu, 18 Maret, pemerintah menggandeng rumah sakit swasta untuk menangani penyebaran COVID-19. Ada tiga rumah sakit swasta yang ambil bagian melawan wabah virus ini. Di antaranya, Rumah Sakit Siloam Kelapa Dua, RS Mitra Keluarga Jatiasih, dan Rumah Sakit Hermina Karawang.Ketiga rumah sakit ini akan mendedikasikan seluruh sarana prasarananya untuk digunakan dalam layanan perawatan, layanan pemeriksaan COVID-19.

Selain itu, pemerintah juga bekerja sama dengan jejaring laboratorium untuk memeriksa spesimen COVID-19. Di antaranya, jejaring laboratorium Siloam, Kalbe dan jejaring laboratorium Bunda Grup.

Dengan adanya bantuan tersebut, diharapkan tidak lagi terpaku pada rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah dalam penanganan COVID-19. Tetapi dari pihak swasta juga dapat membantu dalam skala besar dan bisa bersungguh-sungguh untuk melaksanakannya.

"Dengan cara ini diharapkan deteksi dini penemuan kasus akan dilakukan dengan maksimal," kata Yurianto.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto (Angga Nugraha/VOI)

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Setiawaty mengatakan, pihaknya akan selalu mengikuti arahan dari pemerintah terkait dengan penanganan COVID-19. Namun, mereka perlu dukungan dari pemerintah soal pengadaan alat kesehatan, seperti pakaian pengamanan.

"Kami siap membantu, tapi kami juga butuh support dari pemerintah, terkait pengadaan alat kesehatan," ucap Susi.

Soal adanya penolakan rumah sakit terhadap pasien corona, menurut Susi itu adalah kesalahpahaman. Dari perbincangannya dengan rumah sakit dan dokter yang menangani pasien tersebut, tidak ada sama sekali unsur penolakan. Tapi, pihak rumah sakit tersebut tak memiliki kompetensi dalam pengangan COVID-19 sehingga pasien disarankan ke rumah sakit lain. Apalagi, kondisi pasien saat itu tidak menujukan gejala parah meski masuk dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP). 

"Jadi yang bersangkutan ini hanya ada di kategori PDP rendah. Sehingga diputuskan memang tak diperiksa lebih jauh dan dalam kategori ini memang diwajibkan melakukan isolasi mandiri," ungkap Susi.

Ilustrasi (Unsplash)

Pakar hukum Univeritas Al-Azhar Suparji Ahmad menilai, insiden penolakan pasien COVID-19 ini merupakan hal serius. Katanya, merujuk Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pihak rumah sakit yang menolak pasiden dapat dijerat pidana dengan hukuman dua tahun penjara.

Untuk itu, pemerintah diminta tegas dan bijak dalam pembinaan rumah sakit agar lebih mengedepankan kemanusiaan daripada keuntungan. Selain itu, pemerintah harus menerapkan undang-undang tersebut dengan konsisten. Sebab, kasus penolakan pasien oleh rumah sakit, bukan kali ini saja terjadi.

"Sanksi yang ada hendaknya diterapkan secara konsisten. Kalau tidak sanggup harus ada rujukan yang jelas, pasien tidak boleh ditelantarkan."

Pakar hukum Univeritas Al-Azhar Suparji Ahmad

Sakadar informasi, dalam pasal 32 Undang-Undan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, berisi soal ;

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Kemudian, Pasal tersebut pun mengandung ketentuan pidana yang tertera pada Pasal 190, yakni, berbunyi:

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).