Keguguran seperti Hong Hae-in di Queen of Tears adalah Pengalaman Pribadi yang Traumatis
Hong Hae-in dan Baek Hyun-woo harus kehilangan calon bayi mereka di drama Korea Queen of Tears. (Instagram/@TVN)

Bagikan:

JAKARTA – Kehilangan janin karena keguguran seperti apa yang dirasakan Hong Hae-in di drama Korea Queen of Tears merupakan salah satu pengalaman traumatis bagi keluarga. Keguguran tidak hanya menyebabkan sakit secara fisik, tapi lebih kepada psikologis orangtua. Saling menguatkan antara suami dan istri bisa membantu pasangan melalui masa sulit lebih mudah.

Drama Korea dengan judul Queen of Tears sedang menjadi trending topic sejak pertama kali tayang di layanan Over the Top (OTT) pada Maret lalu. Masalah rumah tangga pasangan Hae-in (Kim Ji-won) dan Baek Hyun-woo (Kim Soo-hyun) dianggap sangat relate dengan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya adalah pengalaman kehilangan janin atau keguguran.

Di drama tersebut diceritakan sekitar satu tahun setelah menikah, Haei-in dan Hyun-woo mengetahui bahwa mereka akan dikaruniai seorang anak. Kabar baik tersebut disambut suka cita, mereka bahkan telah mempersiapkan segala hal untuk keperluan bayi.

Berduka setelah mengalami keguguran akan melewati berbagai tahap, mulai dari terkejut, marah, hingga akhirnya menerima. (Unsplash)

Sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena Hae-in keguguran. Insiden ini membuat hubungan Hae-in dan Hyun-woo menjadi jauh.

Dari sudut pandang Hyun-woo, istrinya terlihat tegar dan dingin saat membuang semua benda yang disiapkan untuk anak mereka. Sementara sang suami tidak mau melupakan calon anaknya yang telah tiada begitu saja, sehingga memilih untuk menempati kamar tersebut.

Menerima kenyataan bahwa calon ibu mengalami keguguran memang bukan perkara mudah. Namun menurut pakar, masa-masa sulit kehilangan bisa terlewati jika pasangan tersebut saling menguatkan, bukan sok kuat menghadapinya sendiri-sendiri.

Sering Disepelekan

Keguguran adalah hal yang umum terjadi. Sekitar 10 sampai 20 persen kehamilan mengakibatkan keguguran. Tapi meski merupakan hal yang umum terjadi, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami betapa buruknya hal tersebut bagi orang yang mengalaminya.

Duka keguguran adalah hal yang nyata, tapi bukan sesuatu yang sering dibicarakan. Setelah kehilangan bayi, banyak ibu yang diharapkan bisa langsung move on, bangkit, dan melanjutkan hidup. Seringkali tidak ada ruang bagi mereka untuk berduka, proses berduka sering kali tidak bersuara dan tidak didukung.

Mengutip Very Well Mind tragedi keguguran biasanya bersifat pribadi, sebuah peristiwa yang sangat disesalkan oleh sang ibu. Pofesional layanan kesehatan umumnya menasihati para wanita bahwa kesedihan karena keguguran akan berkurang seiring berjalanya waktu, terutama setelah kehamilan mereka berhasil.

Tapi, penelitian baru menunjukkan bahwa beberapa wanita mungkin berduka lebih lama dari yang diperkirakan, bahkan setelah melahirkan anak yang sehat meski rentang dan tingkat keparahan gejalanya berbeda-beda.

Tidak hanya untuk para perempuan, hal ini juga berlaku bagi pria. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa laki-laki berduka atas keguguran lebih dari yang diperkirakan sebelumnya.

Keguguran adalah pengalaman yang sangat traumatis tapi sering disepelekan. (Unsplash)

“Karena umum terjadi secara medis, dampak keguguran sering diremehkan,” kata Janet Jaffe, psikolog klinis di Pusat Psikologi Reproduksi di San Diego.

“Tetapi keguguran adalah kehilangan yang traumatis, tidak hanya pada kehamilannya, tetapi juga pada perasaan diri seorang wanita serta harapan dan impiannya di masa depan. Hal ini perlu disedihkan,” imbuhnya.

Wanita yang mengalami keguguran berisiko mengalami gejala depresi dan kecemasan di tahun-tahun berikutnya, menurut profesor psikiatri Universitas Rochester Medical Center Emma Robertson Blackmore, PhD.

Tak hanya itu, Robertson juga mengatakan, wanita yang mengalami keguguran juga memiliki risiko lebih tinggi terkena depresi pasca melahirkan.  

Tidak Ada Cara Tepat untuk Berduka

Hae-in dan Hyun-woo sama-sama berduka setelah kehilangan calon bayi mereka. Namun, mereka tidak menunjukkan perasaan tersebut, sehingga menimbulkan asumsi satu satu sama lain.

Setiap orang akan memiliki reaksi emosional yang berbeda terhadap keguguran, namun bukan hal yang aneh jika mengalami kesedihan mendalam setelah kehilangan kehamilan. Tingkat kesedihan akibat keguguran tidak bisa diukur dari kapan seseorang kehilangan janinnya.

Keguguran saat calon ibu sudah merasakan gerakan janin belum tentu lebih berat dibandingkan mereka yang keguguran di masa awal kehamilan. Apalagi, umumnya seseorang masih merahasiakan kehamilan di masa awal sehingga keguguran yang dialami juga dirahasiakan. Artinya, ia mengalami kesedihan dalam kesendirian.

Sama seperti kehilangan lainnya, seseorang akan melalui berbagai tahap berduka, dari terkejut, marah, hingga akhirnya bisa menerima.

“Beberapa orang akan tiba di tahap menerima lebih cepat dibandingkan yang lain, dan beberapa lain mungkin merasakan emosi seperti marah untuk jangka waktu yang lebih lama,” kata Anette Kersting, Departemen Kedokteran Psikosomatik Universitas Leipzig, Jerman.

“Yang jelas, tidak ada cara yang paling tepat untuk berduka setelah keguguran,” tegasnya.