Bagikan:

JAKARTA - Praktik kawin kontrak masih marak terjadi di Indonesia, dengan Jawa Barat disebut sebagai salah satu lokasi menjamurnya praktik ini. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah serta komnas perempuan dinilai sia-sia. Faktor ekonomi dan kurangnya pemahaman soal hukum pernikahan dinilai masih menjadi penyebab tingginya praktik kawin kontrak.

Belum lama ini diberitakan dua muncikari wanita, RN (21) dan LR (54), ditangkap polisi setelah menjual gadis Cianjur dengan modus kawin kontrak ke pria asing dari berbagai negara. Kawin kontrak juga telah menjadi modus baru dalam kasus Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO) yang terjadi di Indonesia.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cianjur Ajun Komisaris Tono Listianto, kasus perdagangan orang ini terbongkar setelah satu dari enam korban melaporkan bahwa mereka merasa terjebak oleh kedua tersangka untuk melayani seorang pria asal Timur Tengah dengan mahar sebesar Rp100 juta.

Proses nikah siri Sarah (21) warga Kecamatan Cianjur, Jawab Barat, dengan pelaku penyiraman air keras warga negara Arab Saudi. (Antara/HO)

"Kami menangkap RN dan LR pelaku TPPO dengan modus kawin kontrak. Pelaku sudah menjalankan aksinya sejak 2019 dan korban dijanjikan mendapat uang mulai dari Rp30 juta hingga Rp100 juta, namun dibagi dua dengan pelaku," katanya saat merilis kasus tersebut.

Pria yang terlibat dalam praktik kawin kontrak ini tidak hanya berasal dari Timur Tengah, tapi juga India hingga Singapura. Bahkan terungkap jika gadis yang menjadi korban kawin kontrak rata-rata berusia belasan tahun dan masih bersekolah. Mereka dijajakan saat momen libur sekolah.

Alih-alih Bahagia, Malah Menderita

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan praktik kawin kontrak terjadi, tapi seiring berjalannya waktu, masalah kawin kontrak memang menjadi problematika yang sangat pelik. Sudah banyak korban perempuan dari terjadinya kawin kontrak ini.

Pada Agustus 2022 misalnya, seorang ibu di Depok menjual anak kandungnya kepada seorang WNA Mesir untuk melakukan kawin kontrak senilai Rp100 juta.

Praktik kawin kontrak di daerah Puncak, Kabupaten Bogor, bahkan sudah menjadi rahasia umum. Meski aparat setempat sering melakukan razia, praktik ini terus berkembang. Ironisnya, tidak jarang perempuan pelaku kawin kontrak justru berujung menjadi korban kekerasan.

Pada 2021, seorang perempuan bernama Sarah di Cianjur, Jawa Barat, tewas seusai disiram air keras oleh suaminya yang merupakan WNA Arab Saudi bernama Abdul Latif. Mereka menikah dalam status pernikahan siri dengan perjanjian atau yang disebut kawin kontrak.

Pengunjung asal Timur Tengah berbelanja di salah satu toko yang dikelola warga Timur Tengah di kawasan Warung Kaleng, Puncak, Cisarua, Bogor, Jumat (8/1/2021). (Kompas)

Mirisnya, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Pemerintah Kabupaten Cianjur menerbitkan peraturan bupati yang diharapkan bisa mencegah praktik kawin kontrak di wilayah tersebut. Menurut Bupati Cianjur Herman Hermansyah, peraturan itu tidak cukup kuat menghalangi praktik kawin kontrak karena sifat Perbup hanya imbauan, dan belum memuat sanksi.

Faktor ekonomi diakui menjadi salah satu penyebab menjamurnya praktik kawin kontrak. Iming-iming bayaran belasan hingga ratusan juta bagi perempuan yang bersedia dikawin kontrak sulit ditolak. Belum lagi soal bayangan kehidupan bahagia setelah menikah dengan pria asing.

Memang banyak perempuan yang dikawin kontrak merasa kehidupan ekonominya meningkat setelah dipinang pria asing dengan jangka waktu tertentu. Tapi cerita-cerita indah tak selalu menghampiri semua perempuan yang dikawin kontrak. Kisah perempuan di Cianjur yang disiram air keras hingga meninggal dunia di usia muda menjadi salah satu contohnya.

Penyesalan telah bersedia dinikahi secara kontrak juga diungkapkan perempuan yang dijual RN dan LR. Bayangan menjadi istri yang dihujani kasih sayang sirna. Sang suami ternyata sering bersikap kasar, uang dan barang mewah yang dijanjikan pun tak ada. Belum lagi gunjingan tetangga karena melakukan kawin kontrak.

Bukan Sekadar Faktor Ekonomi

Magdalena Sitorus, pendiri Gerakan Perempuan Menulis, sekaligus mantan Komisioner Komnas perempuan mengatakan praktik TPPO berkedok kawin kontrak merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan.

Ia mengatakan perempuan merupakan salah satu kelompok rentan, selain anak-anak. Maka tak heran, perempuan kerap dieksploitasi dengan memanfaatkan kerentanan yang dimiliki, salah satunya adalah kemiskinan.

Tapi Magdalena menilai kemiskinan dari segi materi bukan satu-satunya faktor terjadinya kawin kontrak. Ada kemiskinan pengetahuan dan informasi yang terjadi pada perempuan-perempuan yang menjadi korban.

"Tidak hanya faktor ekonomi, kasus tersebut juga perlu dilihat sebagai kasus eksploitasi terhadap perempuan yang melihat perempuan sebagai objek," kata Magdalena pada Juni 2019.

"Mereka tidak tahu dampak dari praktik kawin kontrak sehingga mereka mudah ditipu, dijanjikan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik," imbuh Magdalena.

Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Lidya Indayani Umar.(Antara/Ahmad Fikri)

Sementara itu, Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Lidya Indayani Umar, mengatakan selain faktor ekonomi, praktik kawin kontrak yang marak terjadi di daerahnya juga karena gaya hidup.

Perempuan dari kalangan tidak mampu berharap kawin kontrak dapat membantu perekonomian keluarga, sementara bagi remaja dari kalangan menengah ke atas yang terjebak kawin kontrak karena gaya hidup, yaitu untuk membeli barang mewah.