Bagikan:

JAKARTA – Donald Trump pernah membalikkan “ramalan” jelang pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. Delapan tahun lalu, Trump dari Partai Republik berhasil mengalahkan tokoh Partai Demokrat, Hillary Clinton. Ini terbilang mengejutkan, karena pada jajak pendapat elektabilitas ia kalah dari Clinton. Apakah ini bisa menjadi peringatan bagi pasangan calon presiden Indonesia jelang Pemilu 2024?

Seperti diketahui, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming hampir selalu berada di posisi pertama survei elektabilitas, mengungguli pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Namun analis politik dari Universitas Al Azhar, Andriadi Achmad mengatakan, survei adalah gambaran kecil dari sebagian besar realitas pemilih sesungguhnya. Dinamika dan gerakan-gerakan secara masif pada kandidat dalam waktu tertentu akan mempengaruhi hasil survei.

Berkaca dari Amerika Serikat

Menjelang Pemilu 2024 yang akan digelar pada 14 Februari mendatang, kelompok undecided voters justru semakin meningkat. Fenomena ini terekam dalam survei lapangan yang dilakukan mandiri oleh Litbang Kompas terhadap 1.364 responden pada 29 November 2023 hingga 4 Desember 2023.

Namun undecided voters tidak hanya ada pada Pilpres di Indonesia. Pada Pemilu Amerika Serikat 2016, undecided voters disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton.

Kesimpulan tersebut berawal dari hasil Pilpres yang tidak sesuai dengan hasil jajak pendapat. Pada survei sebelum Pemilu 2016, Hillary Clinton mengungguli Donald Trump di negara bagian yang menjadi medan pertempuran dalam menentukan presiden. Namun kenyataannya, justru Donald Trump dari Partai Republik yang keluar sebagai pemenang usai mengalahkan Hillary Clinton.

Donald Trump berdiri tepat di belakang Hillary Clinton saat Hilllary menjawab pertanyaan audiens debat kedua calon presiden AS di St Louis. Trump terlihat membuntuti ke mana Hillary melangkah dan kerap dengan muka mengejek Hillary. (Antara/Reuters)

Hampir tujuh bulan setelah Pemilu di Negeri Paman Sam, sejumlah lembaga survei masih mencari jawaban pertanyaan yang telah mengguncang kepercayaan terhadap profesi mereka.

Melansir The New York Times, setidaknya ada dua jenis kesalahan utama yang muncul sebagai penyebab bias pro-Clinton dalam survei sebelum Pemilu. Pertama adalah undecided voters atau para pemilih yang belum mengambil keputusan justru memilih Trump pada hari-hari terakhir Pemilu. Kemungkinan kedua adalah jumlah pemilih di kalangan pendukung Trump lebih tinggi dari perkiraan.

Sementara itu, dalam konferensi tahunan American Association of Public Opinion Research (AAPOR) dan beberapa pertemuan yang digelar awal tahun 2017, mereka menjelaskan beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab Donald Trump akhirnya memenangi Pilpres meski kalah di jajak pendapat.

Melalui survei pasca-Pemilu yang dilakukan oleh Pew Research dan survei lainnya oleh Global Strategy Group, perusahaan Partai Demokrat, mereka menghubungi kembali orang-orang yang telah melakukan pemungutan suara sebelum Pemilu, hingga menemukan sejumlah fakta menarik terkait kemenangan mengejutkan Donald Trump atas Hillary Clinton.

“Mereka menemukan bahwa para pemilih yang ragu-ragu dan berasal dari partai kecil, memilih Trump dengan selisih cukup besar, jauh lebih banyak dari biasanya,” tulis The New York Times.

Para pendukung Trump diduga, saat melakukan survei melalui telepon mereka merasa malu untuk mengungkapkan dukungan mereka terhadap kandidat yang tidak populer. Jika benar demikian, maka para pemilih yang ragu-ragu atau undecided voters sebenarnya adalah pemilih Trump. Mereka hanya tidak mau mengakuinya kepada lembaga survei sampai kandidat mereka menang.

Tak Bisa Diremehkan

Menurut survei Litbang Kompas, jumlah pemilih yang menentukan pilihannya pada Pemilu 2024 justru meningkat. Sebanyak 24,9 persen responden survei menjawab tidak tahu, tidak ada, dan rahasia. Hasil ini diraih dalam survei lapangan yang dilakukan mandiri oleh Litbang Kompas pada 1.364 responden pada 29 November 2024 hingga 4 Desember 2023.

Kelompok undecided voters dalam survei terdiri dari akumulasi jawaban responden yang menjawab tidak ada, tidak tahu, atau rahasia. Pada survei November, responden yang menjawab tidak tahu terkait elektabilitas tiga calon presiden, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, terakumulasi 24,9 persen. Padahal, pada Juni hanya 18 persen dan pada Agustus bahkan mengecil lagi menjadi 15,4 persen.

Undecided voters dalam Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang tak boleh diremehkan karena jumlah mereka jauh lebih banyak dari hasil survei yang sudah dilakukan. (Antara/Adiwinata Solihin)

Menurut Dosen Fisip Universitas Al Azhar Andriadi Achmad, survei sebenarnya hanya gambaran kecil dari sebagian besar realitas pemilih sesungguhnya. Namun, dengan metode dan profesionalitas sebuah lembaga survei terkadang bisa menjadi tolok ukur saat survei dilaksanakan terkait dengan elektabilitas kontestan dalam Pilpres.

“Tapi, perlu diingat dinamika dan gerakan-gerakan secara masif para kandidat serta tim pemenangan dalam waktu tertentu akan mempengaruhi hasil survei pada waktu survei dilaksanakan kembali,” ujar Andriadi kepada VOI.

Ditambahkan Andriadi, di satu sisi survei dapat dijadikan salah alat ukur elektabilitas kandidat tertentu, tapi di sisi lain hasil survei dapat menjadi peringatan bagi kandidat lain.

Proses memasukkan logistik dari gudang KPU Kabuapten Natuna ke dalam lori Pelni yang akan dibawa ke Pelabuhan Selat Lampa pada Jumat (2/2/2024). (Antara/Muhamad Nurman)

“Survei tidak bisa dijadikan patokan untuk memastikan kemenangan pada Pilpres 2024. Ketiga paslon masih memiliki peluang untuk memenangkan Pilpres 2024,” pungkasnya.

Menukil Kompas, kelompok undecided voters sebetulnya tidak bisa diremehkan. Mereka justru akan menjadi penentu Pemilu. Penyelenggara, terlebih peserta Pemilu, yaitu para kandidat Capres-Cawapres ataupun partai politik, sangat perlu memperhitungkannya.