JAKARTA - Unggahan aktris Tara Basro soal kampanye body positivity yang memperlihatkan tubuhnya tanpa busana menarik perhatian banyak pihak. Sebab, muncul anggapan, konten tersebut sudah melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang konten Pornografi. Namun, tak sedikit juga yang menilai, jika unggahan itu hanyalah suatu karya seni dan tak melanggar hukum.
Pada dasarnya, unggahan Tara Basro bertujuan untuk mengajak masyarakat lebih menghargai segala bentuk dan tampilan tubuh seseorang, khususnya perempuan, di luar mitos kecantikan yang diagungkan saat ini. Baginya, tubuh proporsional dan cemoohan masyarakat akan tubuh seseorang dirasa sangat toxic, terutama bagi kaum hawa.
Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad menerangkan, berdasarkan Undang-Undang nomor 44 Tahun 2008 Pasal 4 huruf d tentang pornografi, segala bentuk yang mengandung unsur ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, sudah bisa dikatakan sebagai pornografi.
Selain itu, ketika tindakan atau apapun yang berpotensi merangsang atau menimbulkan nafsu serta melanggar kesusilaan, maka, hal itu pun juga dianggap sebagai pelanggaran dalam undang-undang pornografi.
"Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Pornografi batasannya melanggar kesusilaan dan implementasinya jika menimbulkan hawa nafsu," ucap Suparji kepada VOI, Jumat, 6 Maret.
Hanya saja, suatu tindakan bisa dikatakan sebagai pelanggaran pornografi, bukan diukur dengan batas atau limitatif. Melainkan, ditentukan dengan menggunakan analisis dan efek yang ditimbulkan. Sehingga, menurut Suparji, batasan-batasan pelanggaran pornografi tidak memiliki pakem yang jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir terkait dengan batasan tersebut.
"Sejauh ini batasannya tidak dilakukan secara matematis atau limititatif tapi cenderung bersifat kualitatif. Sehingga dapat timbul multitafsir," kata Suparji.
Dalam persoalan unggahan Tara Basro, kata dia, penggunaan alasan karya seni tidak bisa langsung menggugurkan unsur pornografi. Sebab, harus diulas terlebih dahulu secara umum, apakah konten tersebut memenuhi unsur pornografi atau tidak.
"(Soal alasan seni) dalihnya tidak bisa subyektif, tapi harus dalam perspektif secara umum atau orang banyak. Karena undang-undang untuk melindungi kepentingan orang banyak," kata Suparji.
BACA JUGA:
Sementara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sudah sejak lama mengkritik UU ITE ini, karena dianggap memiliki 'pasal karet'. Salah satunya, Pasal 27 ayat (1) UU itu yang karena batasan 'pelanggaran kesusilaan' yang tak jelas.
Penjelasan dalam Pasal 27 ayat (1) tidak secara eksplisit merujuk pada ketentuan dalam KUHP. Padahal dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang Revisi UU ITE menyatakan Pasal 27 ayat (3) merujuk pada ketentuan KUHP.
Mutlak, pasal 27 ayat (1) harus merujuk pada ketentuan dalam Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP untuk melihat hakikat pelarangan distribusi konten melanggar kesusilaan yang mana UU ITE menjangkau medium dalam sistem elektronik.
Mengenai pelanggaran kesusilaan, yang dinilai sebagai tindak pidana adalah perbuatan “sengaja merusak kesopanan/kesusilaan di muka umum” atau “sengaja merusakkan kesopanan/kesusilaan dimuka orang lain, yang hadir dengan kemauannya sendiri”.
Kesusilaan adalah perasaaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Dan sifat kesusilaan tersebut harus dinilai sesuai dengan konteks perbuatan.
"Aparat penegak hukum dalam penerapan pasal ini harus menilai dengan seksama ukuran kesusilaan dengan konteks perbuatan yang dilakukan, harus dipastikan pula bahwa perbuatan dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesusilaan tersebut," kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati.
Dia menambahkan, untuk perbuatan menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan/gambar yang melanggar kesusilaan, dalam KUHP dijelaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut harus mengetahui, bahwa isi tulisan, gambar, patung dan benda-benda yang dibuat tersebut melanggar perasaan kesopanan/kesusilaan.
Sedangkan dalam UU Pornografi yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
"Pada poin ini, maka penilaiannya kembali pada kesusilaan yang dilihat dari konteks perbuatan dilakukan. Terlebih lagi, politik hukum di Indonesia terkait dengan pornografi yang termuat dalam RKUHP dalam penjelasan Pasal 413, bahwa pornografi harus dilihat sesuai konteks dan tidak merupakan tindak pidana jika merupakan karya seni, budaya, olahraga dan/atau ilmu pengetahuan," tuturnya.