JAKARTA - Pemerintah optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2021 di tengah masih berlangsungnya pandemi COVID-19 dan menurunnya konsumsi rumah tangga. Bahkan, diperkirakan pertumbuhan ekonomi mendekati nol pada level negatif atau positif yang relatif ringan.
Namun, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif perlu didukung tiga faktor penting. Salah satunya adalah bagaimana penularan COVID-19 di Tanah Air bisa dikendalikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan optimisme tersebut berangkat dari upaya kalibrasi kebijakan pada sisi permintaan dan penawaran yang dilakukan pemerintah. Pada sisi permintaan, adanya vaksin akan sangat mempengaruhi.
"Bagi kelompok 40 persen masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah tercakup dalam jaring pengaman sosial, sedangkan kelompok di atas 40 persen bergantung pada penanganan COVID-19. Sehingga saya yakin dengan vaksin dapat mencapai perbaikan konsumsi," katanya, dalam keterangan resmi, Senin, 15 Februari.
Menurut Sri Mulyani, dengan perbaikan konsumsi, pemerintah memiliki kesempatan yang besar untuk pemulihan ekonomi nasional yang lebih baik di tahun ini.
Pada sisi penawaran, kata Sri Mulyani, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan perhatian untuk menyelesaikan seluruh regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Sebab, dengan diberlakukannya UU ini akan memberikan cara baru berinvestasi di Indonesia dan akan memberikan posisi yang lebih baik bagi Indonesia dibandingkan negara lainnya.
"Kami sudah menempatkan apa yang bisa kami tempatkan dan kami akan terus memantau. Dengan itu tidak ada alasan untuk tidak optimistis," jelasnya.
Faktor penentu Indonesia bisa keluar dari krisis
Sri Mulyani mengatakan bahwa hal pertama yang menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa positif atau tidak adalah bagaimana penularan COVID-19 di Tanah Air bisa dikendalikan. Dari kasus pertama ditemukan pada 2 Maret 2020, total kasus kumulatif di Indonesia mencapai 1.223.930 orang.
Kedua adalah kesuksesan vaksinasi. Kata Sri Mulyani, program ini menjadi faktor positif dalam menekan penularan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk kembali beraktivitas.
Terakhir adalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021 untuk bisa terus mendukung pemulihan ekonomi. APBN ekspansif untuk melanjutkan penanganan pandemi dan memperkuat ekonomi melalui realokasi ke belanja produktif serta penguatan program pemulihan ekonomi nasional.
"Dan bagaimana kita bisa menggunakan krisis ini justru untuk melakukan reformasi struktural sehingga Indonesia tidak hanya keluar dari krisis COVID-19 tapi juga keluar dan menjadi negara yang lebih kuat," tuturnya.
Seperti diketahui, Indonesia pada 2020 mengalami pertumbuhan negatif 2,07 persen. Tahun ini diprediksi lebih baik, yaitu antara 4,5 persen hingga 5,3 persen. Proyeksi tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan target pemerintah sebelumnya yang di kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen.
Sri mengatakan tekanan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 termasuk moderat dibandingkan dengan negara anggota G20 dan Asia Tenggara. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2,07 persen (yoy).
Lebih lanjut, Sri berujar negara lain mengalami kontraksi ekonomi lebih dalam. Meskipun, sejumlah negara mampu tumbuh positif seperti China sebesar 2,3 persen dan Vietnam 2,9 persen tahun lalu.
"Dibandingkan negara G20 dan Asia Tenggara kita relatif cukup moderat kontraksi ekonominya. Artinya, kita mampu tangani COVID-19 dan mampu kurangi dampak COVID-19 dalam perekonomian, jadi dampaknya tidak sedahsyat dan sedalam negara lain," tuturnya dalam acara Rapim TNI-Polri 2021, Senin, 15 Februari.
Sebagai contoh, Singapura mengalami kontraksi ekonomi minus 5,8 persen dan Filipina 9,5 persen. Lalu, negara maju seperti AS minus 3,5 persen, Jerman minus 5 persen, Rusia minus 3,1 persen, Prancis minus 8,4 persen, dan Italia minus 8,8 persen.
Kemudian, defisit anggaran Indonesia juga hanya 6,09 persen atau tidak sedalam negara lain. Sedangkan, sejumlah negara maju bahkan melebihi 10 persen. Di antaranya AS mendekati 15 persen dan Perancis 10,8 persen.
Tak hanya itu, kata Sri Mulyani, Indonesia juga masih bisa menjaga rasio utang terhadap PDB relatif lebih hati-hati dan prudent dibandingkan negara lain yakni 38,5 persen. Sementara, rasio utang China mencapai 66 persen terhadap PDB, India mendekati 90 persen, Malaysia 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 48 persen, dan Thailand 55 persen.